Oleh: Lissa Izzate (Ibu Rumah Tangga)
Apa yang terlintas di benakmu ketika mendengar kata pajak?
Kaget, takut, was-was, dan perasaan gelisah lainnya mungkin sedang merayap-rayap di sekujur tubuh. Ya, ini karena saking banyaknya penarikan pajak yang telah diterima oleh masyarakat. Hingga tak tahu berapa rupiah yang telah dikeluarkan untuk pembayaran pajak.
Kondisi ini diperparah ketika mengetahui utang Negara semakin menumpuk. Maka muncul kekhawatiran bagi masyarakat, jangan-jangan akan ada penarikan pajak di sektor yang lain. Benar saja, beberapa waktu lalu muncul wacana bahwa pemerintah akan menerapkan pajak di sektor sembako dan jasa pendidikan.
Hal ini diungkapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan saat memberikan penjelasan soal alasan mengapa rencana pemberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi bahan pokok (sembako) dan jasa pendidikan ini. (Tribunnews.com Senin, 14 Juni 2021)
Penerapan kebijakan PPN terhadap sembako dan jasa pendidikan saat ini dianggap tidak memenuhi rasa keadilan. Sebab itulah kebijakan ini banyak menuai polemik, baik di kalangan atas maupun bawah, apalagi wacana tersebut muncul saat kondisi perekonomian sedang tertekan karena krisis pandemi Covid-19.
Bahkan rencana ini diprediksi akan berakibat pada turunnya daya beli masyarakat, peningkatan biaya produksi, menekan sisi psikologis petani lokal bahkan berpotensi pada meningkatnya angka kemiskinan masyarakat.
Pajak memang dibolehkan untuk diambil, namun sifatnya adalah dalam keadaan mendesak dan kas Negara sedang kosong. Dalam fiqih Islam, pajak adalah dharîbah. Al-‘Allamah Syaikh Rawwas Qal’ah Jie menyebut pajak dengan ungkapan, “Apa yang ditetapkan sebagai kewajiban atas harta maupun orang di luar kewajiban syariat”. [Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hal. 256].
Di sisi lain, al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, mendefinisikan pajak dengan, “harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum Muslim untuk membiayainya.” [al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hal. 129]
Meski beban tersebut menjadi kewajiban kaum Muslim, tetapi tidak semua kaum Muslim wajib membayar pajak, apalagi non-Muslim. Pajak hanya diambil dari kaum Muslim yang mampu secara finansial. Yaitu kelebihan atas harta setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional (ma’ruf), sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut.
Penarikan pajak pun juga harus memperhatikan adab dan cara yang ma’ruf, diantaranya yaitu:
Pertama, pendapatan seseorang harus dikurangi biaya untuk kebutuhan pokok dan sekunder pribadinya.
Kedua, setelah itu dikurangi kebutuhan pokok dan sekunder istri dan anaknya.
Ketiga, jika mempunyai orang tua, saudara, mahram yang menjadi tanggungannya, maka dikurangi biaya kebutuhan pokok dan sekunder mereka.
Setelah dikurangi semua biaya kebutuhan pokok dan sekunder dari dirinya, istri dan anaknya, serta kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya, dan ternyata masih ada kelebihan, maka dia menjadi wajib untuk membayar pajak, dan pajak pun wajib diambil darinya.
Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda, “Ibda’ bi nafsika fatashaddaqa ‘alaiha, fa in fudhula syai’[un] fa li ahlika.” (Mulailah dari dirimu, maka biayailah. Jika ada kelebihan, maka itu untuk keluargamu) [HR Muslim dari Jabir]
Karena itu, pajak di dalam Islam bukanlah untuk menekan pertumbuhan ekonomi masyarakat, bukan menghalangi orang kaya, atau menambah pendapatan Negara. Pajak diambil semata-mata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syara’. Setelah terpenuhi, maka pajak tidak lagi dibolehkan untuk dibebankan kepada masyarakat. Negara harus berusaha untuk mengatasi permasalahan ekonominya dengan mendayagunakan seluruh potensi sumber daya alam yang dimilikinya.
Maka jelaslah pemungutan pajak pada sektor sembako dan jasa pendidikaan seperti yang diwacanakan oleh pemerintah saat ini menjadi beban tersendiri bagi masyarakat, khusunya kalangan menengah ke bawah. Sudahlah kehidupan tertekan dengan berbagai problematika yang dialami, ditambah lagi dengan penarikan pajak pada sembako dan jasa pendidikan.
Jika kebijakan ini benar-benar disahkan, maka Negara layaknya “dracula”, yang menghisap “darah” rakyatnya hingga tetes darah yang terakhir sehingga membuat rakyatnya tak berdaya.
Allahua’lam bish showab.