Ada Kepentingan di Balik Kunjungan Pompeo

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh Ragil rahayu, SE

Pada Kamis, 29 Oktober 2020 Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS), Mike Pompeo melakukan kunjungan ke Indonesia. Pompeo melakukan pertemuan dengan Presiden Republik Indonesia (RI), Joko Widodo (Jokowi) dan Menlu RI Retno Marsudi di Istana Kepresidenan Bogor. Sebagai sebuah negara ideologis, tentu AS memiliki sejumlah tujuan strategis di balik kunjungan Pompeo ini.

Mike Pompeo menegaskan kembali penolakan AS atas klaim Cina di Laut Cina Selatan. Pompeo memuji “tindakan tegas” Jakarta dalam melindungi kedaulatannya di perairan sekitar Kepulauan Natuna. Tak hanya itu, Pompeo hendak meningkatkan kerjasama sama dalam cara-cara baru untuk memastikan keamanan maritim dan melindungi rute perdagangan tersibuk di dunia itu. Kunjungan kedua Mike Pompeo ke Indonesia ini meneguhkan visi kedua negara akan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.

Memastikan Dukungan Indonesia

Kunjungan Pompeo ke Indonesia merupakan bagian akhir dari lawatan ke Asia. Sebelumnya Pompeo melakukan kunjungan ke India, Sri Lanka, dan Maladewa. Lawatan ini dalam rangka mewujudkan visi Trump yaitu Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. Maksudnya adalah menghubungkan kawasan Asia dengan Pasifik yang menjadikan AS berhak turut campur dalam urusan kawasan Asia, meski bukan bagian dari Asia.

Melalui kunjungan ini, Mike Pompeo hendak menegaskan bahwa Indonesia berada di pihak AS dalam perebutan pengaruh di kawasan Asia Tenggara melawan Cina. Indonesia dipandang memiliki posisi strategis di Asia Tenggara, sehingga harus diraih dukungannya. Asisten Menteri Luar Negeri, David R. Stilwell mengatakan alasan Menlu AS Mike Pompeo berkunjung ke Indonesia di akhir tur Asia-nya.

“Indonesia penting karena banyak alasan, tak lain adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia dan merupakan pilar Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. (Indonesia) itu sangat penting dan strategis,” kata Stilwell dalam pernyataan persnya, Jumat, 23 Oktober 2020.

Indonesia Harus Tegas

Indonesia berada di persimpangan jalan dalam konflik Laut Cina Selatan. Antara memihak Cina yang menawarkan kerjasama ekonomi yang sangat besar, atau memihak AS yang memiliki keunggulan dalam hal pertahanan keamanan. Cina menjadi rival berat AS di kawasan Asia Tenggara, sehingga AS pun terus menempel ketat pada Indonesia.

Indonesia makin bimbang, karena sikap politik luar negerinya yang pragmatis. Sehingga kebijakan luar negeri berorientasi pada teraihnya manfaat. Padahal setiap tawaran kerjasama dari negara ideologis seperti AS tentu dilakukan dalam rangka penjajahan.

Sedangkan Cina, meski secara politik berhaluan komunis, namun secara ekonomi juga kapitalis. Sikap “ramah” Cina pada Indonesia juga tidak lepas dari strategi penjajahan. Indonesia seharusnya bersikap waspada terhadap upaya persuasi dari kedua negara tersebut.

Jika Laut Cina Selatan dikuasai asing (baik AS maupun Cina), mereka akan mengeruk kekayaannya dan menguasai posisi strategisnya. Sedangkan Indonesia dan negeri-negeri lain yang menjadi lokasi laut ini hanya bisa gigit jari.

Padahal kawasan Laut Cina Selatan, dikuasai oleh negeri-negeri muslim yang terhimpun dalam Nusantara. Di masa lampau, wilayah ini pernah bersatu dalam naungan Khilafah Islamiyah. Saat itu Khilafah bersama Kesultanan di Nusantara mati-matian mempertahankan kawasan Asia Tenggara dari ancaman penjajah barat. Akibatnya, banyak tentara Turki Utsmani yang syahid dalam pertempuran tersebut.

Saat ini Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara harus mengambil peran penting sebagai pemimpin kawasan. Yaitu mengajak negeri ASEAN yang lain untuk bersatu melawan aneksasi AS, Cina, maupun negara asing lainnya.

Namun persatuan ini tidak akan terwujud jika masing-masing negara masih terbelenggu dalam sekat nasionalisme. Belenggu ini harus dihancurkan dan negeri-negeri muslim ini bersatu dalam sebuah kepemimpinan Islam yaitu Khilafah Islamiyah. Ideologi Islam akan menjadi pemersatu negeri-negeri ini, sebuah ikatan yang kuat dan tak mudah hancur. Berbeda dengan nasionalisme yang terbukti rapuh dan gagal menjaga kedaulatan kawasan.

Khilafah akan menyatukan semua negeri muslim di dunia, termasuk di Asia Tenggara dan mengomando mereka untuk mengusir keberadaan militer asing di wilayah perbatasan. Khilafah tidak akan terjebak dalam rayuan utang luar negeri karena Khilafah dengan politik ekonominya mampu mewujudkan kemandirian. Sehingga asing tidak akan mampu mengintervensi kebijakan dalam negeri Khilafah.

Selain itu, menjaga perbatasan dari ancaman musuh merupakan jihad mulia yang diwajibkan dalam Islam. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw.,

“Menjaga wilayah perbatasan satu hari di jalan Allah, lebih baik daripada dunia serta isinya.” [Muttafaq ’alaih; al-Bukhari, no. 2892; Muslim, no. 1881]

Rasulullah Saw. bersabda,

“Setiap mayit ditutup amalnya, kecuali penjaga wilayah perbatasan, maka amalnya akan terus berkembang hingga hari kiamat serta diselamatkan dari para penguji dalam kubur.” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 2500 dan at-Tirmidzi, no. 1621]

Rasulullah Saw. bersabda,

“Menjaga wilayah perbatasan satu malam di jalan Allah, lebih baik daripada seribu malam yang pada malamnya mengerjakan salat sunah serta siangnya berpuasa.” [Diriwayatkan oleh ath-Thabrani, 1/ 91; dan al-Hakim, 2/91].

Khatimah

Indonesia tidak boleh netral dalam perebutan pengaruh antara AS dan Cina di Asia. Sikap pragmatis hanya akan mengancam kedaulatan negara dan kawasan. Indonesia harus berperan aktif dalam menjaga kedaulatan dengan menolak segala bentuk ilfiltasi asing dan mewujudkan kemandirian kawasan dengan menggabungkan negeri-negeri muslim di ASEAN dalam kepemimpinan Islam yakni Khilafah. Hanya dengan inilah kita akan menjadi negara yang kuat dan berdaulat.

Wallahua’lambishshawab.

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *