Ada Apa di Balik Pembatalan Haji

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ummu Chintya (Anggota Komunitas Ksatria Aksara Kota Bandung)

 

Untuk kedua kalinya calon jemaah haji Indonesia harus menelan kekecewaan. Pasalnya, pemerintah Indonesia memutuskan bahwa ibadah haji tahun ini ditiadakan. Bukan saja kecewa, calon jemaah haji benar-benar marah. Pasalnya, alasan keputusan pemerintah ini seperti mengada-ada, malah menjadikan pihak Arab Saudi sebagai kambing hitam.

Pemerintah beralasan, gara-gara pandemilah hal tersebut terjadi dan katanya pihak arab saudi tidak memberi ruang bagi jemaah indonesia. Padahal nyatanya pihak Arab Saudi sama sekali belum mengambil keputusan apa-apa. Hal itu terlihat dari klarifikasi yang disampaikan Dubes Arab Saudi. Hingga ia mengkritik, semestinya pemerintah Indonesia berkomunikasi dengan Otoritas Arab Saudi. Supaya info yang disampaikan benar-benar valid.

Wajar memang, jika masyarakat melancarkan berbagai tuduhan. Mereka memandang pemerintah tidak serius dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat dengan alasan yang disembunyikan. Tuduhan itu diantaranya adalah soal pendanaan. Maklum, selama ini urusan dana haji memang sangat sensitif dan dinilai jauh dari trasparan. Bisa dibayangkan yang antre untuk diberangkatkan haji, sudah lebih dari 5 juta orang. Sedangkan, dana setoran yang terkumpul sudah mencapai 150 triliun rupiah. Dimanakah gerangan dana itu disimpan?

Pemerintah sendiri telah meyakinkan bahwa keputusan ini tak ada hubungannya dengan uang. Namun tetap saja membuat rakyat diliputi rasa cemas dan was-was juga curiga. Jangan-jangan dana haji mereka tak aman karena pemerintah sendiri selalu bermasalah soal keuangan. Sebagaimana yang kita ketahui, urusan pengelolaan ibadah haji sudah lama menjadi pekerjaan rumah pemerintah dari masa ke masa. Antusiasme masyarakat untuk menunaikan ibadah haji ternyata tak diimbangi dengan pengurusan yang maksimal dari negara. Jadi, wajar kalau muncul berbagai masalah dalam pelaksanaan haji, seperti biaya haji yang sangat mahal, kurangnya transparansi pengelolaan dana yang disetorkan, lamanya antrean yang kian tak masuk akal, regulasi yang selalu gamang, serta masih carut-marutnya pelaksanaan ibadah haji mulai dari dalam negeri hingga ke Arab Saudi.

Saat ini, paradigma kapitalismelah yang dipakai sebagai dasar pengurusan masyarakat. Bahkan, kentalnya paradigma ini meniscayakan pencampuradukan antara yang haq dan yang batil. Mahalnya biaya haji misalnya, adalah dampak dari rantai kepentingan kapitalisme. Dan ibadah haji ini juga menjadi ajang bisnis yang bisa dieksploitasi. Mulai dari bisnis transportasi, perhotelan , catering, jasa perizinan, jasa pembimbingan, dan lain-lain.

Negara pun hanya memposisikan diri sebagai pembuat regulasi bahkan mengatur urusan rakyat layaknya sebuah korporasi yang selalu menghitung untung rugi. Tak heran jika rakyatnya dipaksa untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Jelas sudah hubungan negara dan rakyatnya kian jauh dari prinsip riayah (pengurusan) yang berdimensi ruhiyah.

Berbeda halnya dengan sistem Islam, negara akan memposisikan diri sebagai ra’in (pengurus) sekaligus junnah (perisai) bagi umat atau rakyatnya. Fungsi ini memiliki dimensi ruhiyah, berupa keyakinan bahwa kepemimpinan adalah amanah dari Allah SWT yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Maka dari itu, perintah dan larangan Allah akan senantiasa menjadikan patokan negara dalam mengatur seluruh urusan rakyat termasuk dalam memfasilitasi dan mempermudah masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya serta mempermudah dalam menunaikan kewajiban nya, dalam hal ini adalah ibadah haji. Maka, persoalan haji pun menjadi politis, sehingga negara akan berhati-hati dalam penyelenggaraannya dan tak banyak menemui hambatan.

Sistem keuangan dan birokrasi negara dalam islam pun akan mendukung. Sehingga prinsip mudah, tepat, dan murah bisa terealisasi. Sudah cukup berbagai persoalan yang menimpa umat hari ini, termasuk wabah yang makin menjadi dan akhirnya menghambat penyelenggaraan ibadah haji. Betapa keberkahan memang terasa makin jauh dari umat ini.

Maka dari itu, sudah seharusnya kita segera bertaubat dengan menjadikan Allah Swt sebagai tujuan dan melakukan koreksi mendasar dalam seluruh pengaturan kehidupan. Yaitu dengan menerapkan Sistem Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan dan menjadikan hukum- hukum Allah SWT sebagai satu-satunya tuntunan. Sungguh, Allah SWT Maha Penerima Tobat, sangat mudah bagi Allah SWT untuk mengubah semua keadaan buruk ini menjadi berlimpah kebaikan.

Wallahu ‘alam Bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *