Ada Apa Dengan Rekontekstualisasi Fiqh?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Dira Fauzah Syamsiar (Ibu Rumah Tangga)

 

Senin 25 Oktober 2021, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas hadir dan mengapresiasi tema Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-20 yang digelar di Surakarta, Jawa Tengah. Tema tersebut adalah “Islam In A Changing Global Contex: Rethinking Fiqh Reactualization and Public Policy”.

Konferensi Internasional tentang Islam kali ini cukup menarik untuk dikritisi. Sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Agama, pada awalnya AICIS tahun ini mengusung tema public policy saja. Tetapi kemudian Menteri Agama meminta kepada panitia untuk mengubahnya dan memasukkan kajian fiqh dalam era pandemi ini.

https://www.ngopibareng.id/read/14-kondisi-pendorong-rekontekstualisasi-fikih-di-era-global

Wacana reaktualisasi fiqh atau rekontekstualisasi fiqh Islam sebenarnya tidak terjadi baru baru ini saja. Upaya untuk menyesuaikan dan mencocokkan ajaran Islam khususnya hukum hukum Islam (fiqh) berulangkali dilakukan, baik oleh kalangan pejabat maupun cendekiawan muslim. Upaya ini menurut mereka, dilakukan dalam rangka merespon berbagai permasalahan yang terjadi, baik permasalahan individu hingga masyarakat dan kebijakan publik.

Rekonstekstualisasi menurut KBBI menyesuaikan kembali sesuai dengan konteksnya atau kondisi nya. Sehingga upaya rekontekstualisasi fiqh yang dilakukan bisa dikatakan ada anggapan bahwa apa yang dihasilkan dari khazanah Islam selama ini baik dalam memahami Al Quran, Hadits dan kitab kitab fiqh sudah tidak sesuai dengan konteks saat ini sehingga perlu ada nya rekontekstualisasi.

Misalnya terkait hukum waris. Islam telah menetapkan di dalam Al Quran bahwa bagian waris anak perempuan adalah setengah dari bagian waris laki laki. Hukum ini mereka anggap sudah tidak sesuai konteks nya lagi, karena saat ini banyak perempuan yang bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga dalam penafkahan. Termasuk kewajiban menegakkan Khilafah dianggap sudah tidak sesuai konteks lagi. Karena akan mengakibatkan bencana bagi negara bangsa.

Pemikiran ini jelas berbahaya. Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh. Hukum hukum yang ditetapkan berlaku selamanya karena berasal dari Dzat Yang Maha Sempurna yaitu Allah SWT. Sehingga bagaimana mungkin Hukum yang telah Allah tetapkan dan di wahyukan kepada Rasulullah SAW dianggap sudah tidak sesuai konteks nya lagi ?

Pelaksanaan hukum Islam merupakan suatu keyakinan yang wajib bagi seluruh umat Islam yang lurus aqidahnya. Bentuk keimanan ini adalah dengan tunduk pada semua aturan Allah baik berupa perintah maupun larangan Allah. Keyakinan ini penting sebagai bukti keimanan seorang muslim.

Upaya rekontekstualisasi hukum Islam ini sebenarnya tidak hanya terjadi pada hari ini saja. Sudah sejak lama ada upaya untuk menyesuaikan hukum hukum qath’i Islam, atau merubah hukum Islam agar sesuai dengan hawa nafsu manusia.

Di balik wacana ini kita bisa menduga adanya peran dari kaum penjajah yang menginginkan agar umat Islam tidak menerapkan Islam secara utuh, atau umat Islam memandang Islam sebagaimana Barat memandang agamanya, yang hanya terbatas pada mengatur aspek ibadah ritual saja.

Barat penjajah menginginkan agar umat Islam mengatur kehidupannya tanpa adanya campur tangan hukum hukum atau aturan agama. Ini tidak mengherankan karena Barat memang menganut pemisahan agama dari kehidupan. Ketika umat Islam jauh atau diasingkan dari ajaran agamanya, maka umat Islam akan lebih mudah untuk senantiasa dikuasai dan dieksploitasi negeri dan potensi kekayaan alamnya.

Islam sebagai Agama yang sempurna tentunya secara menyeluruh mampu menyelesaikan permasalahan kehidupan. Baik permasalahan individu, masyarakat, hingga masalah negara. Kesempurnaan Islam dapat kita lihat dari begitu kaya nya khazanah kekayaan tsaqafah Islam hingga hukum hukum serta norma aturan yang secara rinci mengatur kehidupan dengan adil an benar.

Barat penjajah berkepentingan menjaga eksistensi dan hegemoni nya pada negeri negeri kaum muslimin dengan menjauhkan serta menghalangi kesadaran umat Islam dari upaya penerapan Islam dan hukum hukumnya dalam seluruh aspek kehidupan. Kesadaran umat ini membahayakan Barat karena akan menghentikan penjajahan yang selama ini mereka lakukan, baik dalam aspek ekonomi, politik, pendidikan serta sosial.

Meski hukum Islam yang bersumber dari Al Quran dan As Sunnah yang turun berabad abad yang lalu, tapi hukum Islam mampu menjawab tantangan permasalahan kehidupan melalui proses ijtihad yang dilakukan. Proses ijtihad ini sangat dikenal oleh para ahli hukum Islam sejak masa kejayaan Islam. Tapi, proses ijtihad hanya dilakukan pada dalil yang bersifat dzanni serta ada illat hukum. Proses ijtihad tidak akan dilakukan pada hukum hukum yang bersifat qath’I karena telah ditetapkan serta dijelaskan secara pasti dalam hukum Islam.

Sehingga, upaya rekontekstualisasi adalah upaya menyingkirkan hukum Islam dan mengganti hukum buatan manusia yang menuruti hawa nafsunya. Setiap ketetapan hukum yang ditetapkan manusia yang bersifat terbatas dan lemah, akan menghasilkan hukum yang lemah dan penuh dengan perdebatan serta ke tidak adilan serta kerusakan. Karena manusia memiliki kelemahan dalam memahami hakikat sesuatu, dan hukum yang ditetapkan mengikuti kehendak yang sedang berkuasa.

Dari sini telah jelas, bahwa Islam tidak butuh di rekontekstualisasi, Islam butuh diterapkan. Karena kesempurnaan aturannya menjadikan kehidupan lebih adil dan menjauhkan dari kedzaliman. Harus ada upaya untuk mewujudkan aturan Islam agar mampu diterapkan dalam kehidupan. Setidaknya butuh institusi penerap hukum Islam yang akan memastikan semua aturan Islam mampu menyelesaikan permasalahan kehidupan mulai dari individu, masyarakat dan negara.

Dan yang lebih penting lagi, penerapan aturan Islam bukan pilihan, tapi kewajiban sebagai seorang Hamba Allah yang berharap kehidupannya mengantarkan pada keberkahan.

Wallaahu a’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *