Oleh : Watini Alfadiyah, S. Pd. (Praktisi Pendidikan dan Pengamat Sosial)
Pamdemi covid-19 kasusnya tak juga menurun, namun terus bertambah hingga muncul varian baru karena tidak ada karantina virus. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, pandemi Covid-19 tidak akan menjadi pandemi terakhir. WHO juga menuturkan upaya untuk meningkatkan kesehatan manusia “ditakdirkan” tanpa mengatasi perubahan iklim dan kesejahteraan hewan.
Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus mengutuk siklus “berpandangan sempit dan berbahaya” dari membuang uang tunai pada wabah, tetapi tidak melakukan apa pun untuk mempersiapkan kemungkinan pandemi berikutnya.
Dia mengatakan, sudah waktunya untuk belajar dari pandemi Covid-19. “Sudah terlalu lama, dunia telah beroperasi dalam siklus kepanikan dan pengabaian,” katanya, seperti dilansir Channel News Asia. (Minggu,20/12/2020/Sindonews.com).
Varian baru kini terus muncul karena tidak segera adanya karantina virus. Bahkan adanya pernyataan WHO merupakan pengakuan adanya kegagalan sistem sekuler dalam menghentikan sebaran virus. Dengan demikian, tampak nyata bahwa sistem kapitalis sekuler tak mampu menghentikan penularan dan mutasi virus.
Hingga kini, wabah Covid-19 terus menyebar di berbagai wilayah dunia bahkan dalam bentuk varian baru. Berbagai solusi yang telah ditempuh belum menunjukkan hasil yang signifikan. Bahkan,
korban terus berjatuhan, angka kematian juga kian bertambah sekalipun jumlah penderita yang sembuh selalu dilaporkan namun sepertinya tak mampu menepis kecemasan masyarakat terhadap ancaman penyakit yang sudah menjadi pandemi yang lebih buruk.
Lantas, sistem apa kiranya yang bisa kita lihat untuk mensolusi kalau bukan sistem yang sumbernya dari Allah Swt. yakni sistem Islam. Dalam sistem Islam sebagaimana dikisahkan dalam
pemerintahan Khalifah Umar ketika diuji Allah dengan suatu musibah wabah ‘Thaūn Amwās yang menyerang wilayah Syam dimana wabah ini dikabarkan telah menghantarkan kematian tidak kurang dari 30 ribu rakyat. Bukan saja warga negara biasa, bahkan penyakit ini pun menyerang beberapa sahabat Khalifah Umar seperti Abu Ubaidah, Muadz bin Jabal, dan Suhail bin Amr yang mengantarkan pada wafatnya mereka.
Sekalipun ditimpa bencana besar, namun Khalifah Umar tidak kehilangan kendali. Beliau tetap menunjukkan karakternya sebagai seorang pemimpin yang bersegera menyelesaikan masalah rakyat yang menjadi tanggung jawabnya. Wabah tersebut dihadapi dengan solusi yang menyelesaikan.
Kesuksesan melawan wabah yang telah diraih khalifah Umar in syaa Allah akan terulang kembali karena faktor utamanya bukan terletak pada beliau sebagai pribadi, namun disebabkan karena sistem aturan yang diterapkan oleh beliau.
Tepatnya karena sistem yang diterapkan oleh beliau adalah sistem Islam yang dilaksanakannya secara sempurna mengikuti jejak pendahulunya yaitu Baginda Rasulullah saw dan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq ra. Tentu saja siapa pun bisa meneladaninya dengan syarat menjadikan Rasulullah saw dan para khalifah setelahnya sebagai panutan.
Adapun kunci kesuksesan sistem khilafah dalam menangani wabah pandemi yaitu memadukan antara Akidah dengan Syariah.
Kesempurnaan Islam tergambar dari aspek akidah yakni keimanan terhadap Allah Swt, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Nabi dan Rasul, hari kiamat, dan iman pada takdir baik dan buruk semua terjadi dengan ilmunya Allah.
Keimanan ini tidak hanya terukir dalam hati, bukan sebatas diucapkan dengan lisan, namun dinampakkan dalam wujud perbuataan yang menunjukkan pada ketaatan terhadap syariat yang telah diturunkan Allah Swt pada Rasulullah saw. Termasuk di dalam menghadapi serangan wabah yang mengancam jiwa.
Keimanan yang kuat ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab dengan para sahabatnya tatkala menghadapi wabah, mereka langsung meyakini bahwa semua terjadi karena kekuasaan Allah Swt.
Demikian juga adanya wabah Covid-19 dengan varian baru kini bisa diambil pelajaran yang membuktikan lemahnya manusia dan betapa Mahakuasanya Allah untuk meruntuhkan kesombongan para penguasa. Yang ternyata tidak mampu menyelesaikan problematika kehidupannya.
Dalam menangani masalah wabah, khalifah Umar tidak berhenti hanya menyerahkannya pada takdir Allah saja, namun justru bersegera terikat kepada ketentuan syariat yang telah dicontohkan oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kebijakan yang diambil khalifah bukan semata mengandalkan kecerdasan dan kemampuan manusiawinya, tetapi disandarkan pada apa yang sudah diperintahkan oleh Rasulullah Saw.
Sebagai buktinya adalah kegembiraan khalifah Umar dan rasa syukurnya atas pernyataan Abdurrahman bin ‘Auf yang menegaskan bahwa keputusan Umar sudah sesuai dengan ketetapan Rasulullah saw.
Ibnu Hajar menceritakan kisah ini di dalam Fathu al-Bârî bahwa Umar ra. keluar ke Syam, ketika tiba di Syargh, sampai kepadanya bahwa wabah terjadi di Syam. Lalu Abdurrahman bin ‘Awf memberitahunya bahwa Rasulullah saw bersabda,
«إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ»
“Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu datangi negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, maka janganlah keluar dari negeri itu karena hendak melarikan diri.”
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibn Umar RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Seorang imam yang berkuasa atas masyarakat bagaikan penggembala dan dia bertanggung jawab atas gembalaannya (rakyatnya).”
“Siapa saja yang dijadikan Allah mengurusi suatu urusan kaum muslimin lalu ia tidak peduli akan kebutuhan, keperluan, dan kemiskinan mereka, maka Allah tidak peduli akan kebutuhan, keperluan, dan kemiskinannya.”
Seperti itulah fakta nyata yang ditunjukkan oleh Khalifah Umar. Beliau rela membatalkan kunjungan resminya ke Syam dan memutuskan kembali ke Madinah guna menghindarkan paparan wabah yang sedang merajalela di negeri itu menyebar kepada penduduk di tempat lain. Pilihan ini tentu saja akan memilki risiko sehingga sebagian sahabat Muhajirin sempat mengingatkannya:
“Anda telah keluar untuk suatu urusan penting. Karena itu kami berpendapat, tidak selayaknya Anda akan pulang begitu saja.”
Namun beliau tetap yakin dengan langkah yang telah ditetapkannya. Nyawa dan keselamatan rakyat menjadi pertimbangan utama dibandingkan urusan lainnya.
Di bawah ri’ayah pemerintahan seperti inilah kesejahteraan dan masa depan rakyat akan terselamatkan sekalipun didera berbagai musibah dan ujian. Mereka percaya bahwa pemimpinnya tidak akan berlepas tangan.
Pemerintahnya tidak mungkin mengorbankan nasib mereka atas dasar pertimbangan ekonomi, apalagi menukarnya demi kepentingan segelintir pengusaha.
Dengan demikian, adanya pandemi yang semakin buruk tidak boleh membuat kita ciut nyali. Namun sebaliknya, harus menjadi pengingat kita untuk semakin kuat mendekat kepada-Nya dan mengambil pelajaran dengan menyuarakan abad Khilafah untuk atasi pandemi. Wallahu a’lam bi-ashowab.