1070 Kasus Hukum Diberhentikan, Akankah Menciptakan Keadilan?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Nabila Sinatrya

 

Dilansir dari suara.com/22/05/2022 Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung RI, Fadil Zumhana mengklaim telah menghentikan 1.070 perkara dengan pendekatan restorative justice. Penghentian kasus ini dilakukan karena banyak tindak pidana yang kasusnya ringan, hal ini merujuk pada Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Keadilan Restoratif menurut Kevin I. Minor dan J.T. Morrison dalam buku “A Theoritical Study and Critique of Restorative Justice, in Burt Galaway and Joe Hudson, eds., Restorative Justice : International Perspectives” (1996), restorative justice adalah suatu tanggapan kepada pelaku kejahatan untuk memulihkan kerugian dan memudahkan perdamaian antara para pihak.

Restorative Justice menjadi pilihan karena dapat mewujudkan keadilan hukum yang memanusiakan manusia dan memberi manfaat bagi masyarakat. Secara praktis karena biaya penanganan perkara yang tidak murah, juga kondisi Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) yang kelebiahan daya tampung (Overcapacity). Sehingga diharapkan cara ini menjadi solusi untuk mengurangi narapidana.

1070 kasus yang dihentikan dengan keadilan restoratif ini secara tidak langsung telah membuktikan kepada kita bahwa sistem peradilan saat ini tidak memiliki hukum sanksi yang jelas sehingga banyak perubahan sanksi karena beratnya beban negara menanggung biaya penjara. Keadilan restoratif ini juga sudah diterapkan di Amerika Serikat, Eropa, Australia, jepang, dan beberapa negara maju lainnya. Namun tindak kejahatan malah semakin tinggi.

Statistik dari Jaringan Nasional Pemerkosaan, Penyalahgunaan dan Incest (RAINN) yang berbasis di Washington DC menyebut (data tahun 2019), terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan setiap 98 detik di AS. Dalam World Drug Report UNODC tahun 2020 tercatat sekitar 269 juta orang didunia menyalahgunakan narkoba. (bnn.go.id)

Menjadi hal yang wajar Ketika solusi yang dipilih membuat tingkat kejahatan semakin besar, hal ini karena dalam sistem demokrasi sekuler memberi hak kepada manusia untuk menetapkan suatu hukum. Padahal manusia memiliki keterbatasan dimensi ruang dan waktu, alhasil solusi yang berasal dari manusia pun menimbulkan masalah-masalah baru. Sebagaimana keadilan restoratif ini bisa menjadi celah bagi pelaku kejahatan berat untuk mendapatkan hukuman ringan, sesuai dengan firman Allah SWT

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan Sebagian dari akibat perbuatan mereka. Agar mereka Kembali ke jalan yang benar.” TQS Ar-Rum : 41

islam tidak hanya keyakinan tapi juga sebagai konsep hidup, mengatur secara lengkap kehidupan manusia termasuk dalam menyelesaikan perselisihan antar manusia. Sistem sanksi islam atau sistem uqubat yang diterapkan dalam institusi khilafah ditetapkan di tangan As syari’. Dalam islam tidak memandang besar kecilnya kesalahan, karena setiap kesalahan adalah dosa yang harus dikenai sanksi.

Dalam kitab Nidzam al-uqubat fil Islam karya Syaikh Abdurahman Al Malki menjelaskan ada empat bentuk hukum pidana. Pertama, hudud, yang merupakan sanksi-sanksi atas kemaksiatan yang telah ditetapkan kadarnya oleh Allah SWT. Kedua, Jinayah yang merupakan sanksi-sanksi atas pembunuhan. Ketiga, Takzir, yaitu sanksi yang tidak ditetapkan secara spesifik. Keempat, Mukhalafat, sanksi yang dijatuhkan oleh penguasa kepada orang yang menentang perintah penguasanya. Sistem sanksi yang diterapkan dalam Khilafah akan memberi efek, yaitu sebagai zawajir atau penjegah kejahatan berulang kembali dan sebagai jawabir atau penebus dosa di akhirat. Artinya kejahatan massal hanya bisa tuntasa dalam institusi khilafah karena sanksi dalam islam bersifat jelas dan tegas. Wallahu a’lam bish showwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *