Oleh : Widi Yanti
Kata pulang mengingatkan akan kampung halaman. Bagi perantau tentu punya rasa tersendiri bisa pulang kampung. Apalagi jika dalam rangka liburan. Bukan karena peristiwa yang menyedihkan.
Kata pulang dapat dimaknai dengan sangat gembira dan begitu antusias. Kapan itu?. Waktu bel berbunyi tanda pulang sekolah. Hayoo ngaku siapa yang dulu jaman sekolah begini. Senang bin bahagia kalau pulang cepat karena guru rapat.
Pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku… Kalau lirik lagu ini bikin baper ya. Yang bisa melakukan berarti sudah berumur?. Tembang lawas milik Betharia Sonata ini melambangkan permintaan si istri ke suami untuk dikembalikan ke orang tuanya. Hmmm kata kasarnya minta diceraikan. Tidak kuat dengan perlakuan suami yang ringan tangan.
Memaknai pulang yang terakhir adalah berpulang ke Rahmatullah. Benar-benar terakhir. Karena tidak akan mungkin lagi kembali ke dunia. Malaikat Izrail yang sekian lama mengintai. Akhirnya menunaikan tugasnya. Mencabut nyawa seseorang meninggalkan raga yang mungkin masih utuh. Segar bugar. Tanpa luka sedikitpun.
Di lain orang bisa jadi raga tak lagi utuh. Mungkin karena mutilasi sehingga pisah antara bagian tubuh satu dengan yang lainnya. Atau bisa jadi karena sakit ataupun penyebab lainnya yang menjadi perantara menuju kepulangannya.
Pulang untuk mempertanggungjawabkan semua hal yang dilakukan di dunia. Amal perbuatan maupun penggunaan harta benda tak akan luput dari tanya. Sesungguhnya diri ini sedang menunggu untuk pulang. Tinggal tunggu waktu. Antre. Entah nanti, esok atau lusa. Minggu depan, tahun depan ataukah sepuluh tahun lagi. Tak ada satu manusiapun tahu secara pasti.
Tinggal pertanyaan untuk diri ini. Sejauh mana kesiapanmu untuk pulang?
Malang, 18 September 2019
#nubar
#nulisbareng
#level3
#berkreasilewataksara
#menulismengabadikankebaikan
#week3
#RNB6