NASIB ORANG YANG SANGAT INGKAR

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

Dan yang menyertai dia berkata: “Inilah (catatan amalnya) yang tersedia pada sisiku” (23); Allah berfirman: “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala (24); Yang sangat menghalangi kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu (25); Yang menyembah sembahan yang lain beserta Allah, maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat”.(26)  (TQS Qaf [50]: 23-26).

 

Ayat sebelumnya menjelaskan tentang dua peristiwa besar yang akan dialami manusia. Yakni, datangnya sakaratul maut dan ditiupnya sangkakala oleh Israfil. Kedua peristiwa akan membuat manusia benar-benar melihat Hari Kebangkitan dan pembalasan yang disampaikan kepada mereka.

Ayat ini masih memberitakan tentang peristiwa yang terjadi pada Hari Kiamat.

Tersedia Catatan Amal

Allah SWT berfirman: Wa qâla qarînuhu hadzâ mâ ladayya ‘atî(dan yang menyertai dia berkata: “Inilah (catatan amalnya) yang tersedia pada sisiku”). Secara bahasa, kata qarîn bermakna mushâb wa mulâzim (yang menemani dan menyertai). Oleh karena itu, istri juga bisa disebut sebagai qarîn. Lafadz qarîmerupakan ism jins (kata jenis yang menunjukkan makna umum), sehingga malaikat penggiringnya ada qarîn. Demikian juga malaikat Zabaniyyah dan orang yang menemani berjalan kaki di jalan juga qarîn.

Dalam kontek ayat ini, ada beberapa penjelasan yang dikemukakan oleh para ulama. Ada sebagian yang mengatakan bahwa qarîn di sini adalah setan. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Zamakhsyari. Menurutnya, itu didasarkan pada firman-Nya: Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Alquran), kami adakan baginya setan (yang menyesatkan) maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya (QS al-Zukhruf [43]: 35). Juga QS Qaf [50]: 19-27 dan al-Zukhruf [43]: 38).

Sehingga ini mengisyaratkan bahwa yang digiring itu adalah pelaku kejahatan, orang fajir, dan orang fasik. Sedangkan kata al-‘atîd bermakna al-mu’add li al-nâr (orang yang disiapkan ke neraka). Secara keseluruhan, ayat ini bermakna: Sesungguhnya setan berkata, “Ini adalah pelaku maksiat, dia di sisiku sesuatu telah disiapkan untuk neraka Jahanam. Aku menyiapkannya dengan menggelincirkan dan menyesatkannya.”

Dijelaskan juga oleh al-Zamakhsyari, makna ayat ini adalah malaikat menggiringnya, malaikat satunya menjadi saksi, dan setan disertakan kepadanya seraya berkata, “Sungguh aku telah menyediakan dan menyiapkannya untuk neraka Jahanam disebabkan oleh penyimpangan dan penyesatanku.” Penafsiran ini juga dipilih oleh Wahbah al-Zuhaili.

Pendapat lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan qarîn di sini adalah malaikat. Menurut Abu Hayyan al-Andalusi, malaikat Zabaniyyah penjaga neraka Jahanam. Sedangkan menurut  al-Hasan, Qatadah, dan al-Dhahhak malaikat diberikan tugas untuk mendampingi manusia..

Ibnu Zaid menafsirkannya malaikat yang ditugaskan sebagai sâiq (penggiring manusia). Dasarnya, firman Allah SWT dalam ayat 21. Sedangkan menurut Ibnu Katsir, malaikat yang ditugaskan Allah SWT untuk mencatat amal perbuatan anak Adam. Malaikat itu akan menjadi saksi pada Hari Kiamat atas perbuatan manusia.

Malaikat tersebut berkata: hadzâ mâ ladayya ‘atîd (inilah [catatan amalnya] yang tersedia pada sisiku). Kata penunjuk hadzâ menunjuk kepada catatan atau kitab yang berisi semua amal manusia selama di dunia yang baik maupun yang buruk. Sedangkan kata ‘atîd bermakna yang disediakan dan didatangkan tanpa ada penambahan dan pengurangan.

Diberitakan ayat ini, malaikat tersebut berkata, “Ini catatan amalmu yang ada padaku dan tersedia padaku. Aku telah menyediakannya.” Mujahid menafsirkan perkataan malaikat tersebut: “Inilah yang Engkau tugaskan kepadaku terhadap anak Adam, sungguh kami telah menghadirkan catatan amalnya.”

Dilemparkan ke Neraka

Setelah mendapat laporan malaikat, kemudian diberitakan Allah SWT berfirman: Alqiyâ fî Jahannam kulla kaffâr ‘anîd (Allah berfirman: “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala). Huruf al-alif pada kata Alqiya  merupakan dhamîr al-itsnayni (kata ganti yang menunjukkan dua). Menurut al-Farra` ini merupakan khithâb atau seruan untuk satu orang dengan khithâb dua orang. Dijelaskan al-Khalil dan al-Akhfasy, penggunaan bentuk tatsniyah (yang menunjukkan dua) itu merupakan bentuk bahasa Arab yang fasih yang memerintahkan satu orang dengan lafadz dua orang.

Menurut al-Mazini, firman-Nya: alqiya (lemparkanlah) bukan bermakna kata perintah untuk dua orang. Akan tetapi kata perintah bermakna dua kali, yakni: lemparkan, lemparkan.

Ada juga yang memahami dengan makna sebenarnya. Yakni, Allah SWT memerintahkan kepada dua malaikat untuk melemparkannya. Dikatakan bahwa dua malaikat itu adalah al-sâiq (malaikat penggiring) dan al-hâfizh (malaikat penjaga amalan).

Menurut Ibnu Katsir, lahiriah lafaz ini ditujukan kepada al-sâiq (malaikat penggiring) dan al-syahîd (malaikat penyaksi). Malaikat penggiringlah yang menghadirkannya ke tempat penghisaban. Setelah malaikat penyaksi menyampaikan kesaksian tentangnya, lalu Allah SWT memerintahkan kepada keduanya agar mencampakkannya ke dalam neraka Jahanam, tempat kembali yang paling buruk.

Yang diperintahkan Allah SWT kepada malaikat untuk dilemparkan ke dalam neraka Jahanam adalah orang-orang yang memiliki sifat kaffâr (orang yang sangat ingkar dan keras kepala). Kata tersebut merupakan bentuk mubâlaghah dari kata al-kufr (kekufuran). Maknanya syadîd al-kufr (sangat kufur). Ibnu Katsir memaknainya sangat ingkar dan mendustakan kebenaran.

Bisa juga berasal al-kufrân (ingkar). Maknanya, mengingkari nikmat-nikmat Allah SWT dengan sangat banyak.

Sedangkan ‘anîd merupakan bentuk fa’îl yang bermakna fâ’il dari kata ;anada unûd[an] (keras kepala, keras hati). Menurut Qatadah, kata tersebut bermakna menyimpang dari kesesatan). Al-Hasan menafsirkannya yang ingkar lagi membangkang.

Kemudian dalam ayat berikutnya, Allah SWT berfirman: mannâ’ li al-khayr mu’tad[in] murîb (yang sangat menghalangi kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu). Kata mannâ’ merupakan bentuk mubâlaghah dari kata mana’a  (mencegah, menghalangi) yang bermakna banyak mencegah atau menghalangi.

Sedangkan al-khayr, menurut Fakhruddin al-Razi, penafsirannya terkait dengan makna kata kaffâr dalam ayat sebelumnya. Jika kata tersebut berasal dari kata al-kufrân yang berarti mengingkari nikmat-nikmat Allah SWT, maka makna mannâ’ li al-khayr di sini adalah  banyak menolak menunaikan kewajiban harta. Seolah dikatakan: “Dia mengingkari nikmat-nikmat Allah dan tidak memberikan sedikit pun darinya untuk mensyukuri nikmat-nikmat-Nya.”

Akan tetapi jika kata kaffâr dalam ayat sebelumnya berasal dari al-kufr yang berarti mengingkari bukti-bukti keesaan Allah SWT yang sangat kuat dan jelas, maka mannâ’ li al-khayr  di sini bermakna orang yang sangat keras menghalangi keimanan.

Sedangkan mu’tad[in] adalah yang melanggar batas dalam membelanjakannya dan juga dalam mempergunakannya hingga melampaui garis yang ditentukan. Fakhruddin al-Razi, juga mengaitkan penafsiran kata tersebut dengan kata mannâ’ dalam ayat sebelumnya. Jika bermakna mannâ’ al-zakâyang berarti tidak menunaikan kewajiban, dan lebih dari itu adalah mengambil harta haram dengan riba, mencuri, dan semacamnya sebagaimana kebiasaan orang-orang musyrik.

Namun jika bermakna man’ al-îmâ(menghalangi keimanan), seolah dikatakan: “Menghalangi keimanan dan tidak hanya puas dengannya hingga lebih dari itu dia menghinakan dan menyakiti orang yang yang beriman serta membantu dan menolong orang yang ingkar.”

Sifat lainnya adalah murîbMenurut al-Hasan dan Qatadah, murîb adalah orang yang ragu dalam tauhid. Ibnu Jarir al-Thabari menafsirkannya orang yang ragu terhadap keesaan Allah SWT dan kudrat-Nya atas segala sesuatu.

Kemudian Allah SWT: Alladzî ja’ala ma’al-Lâh ilâh[an] âkhar (yang menyembah sembahan yang lain beserta Allah). Artinya, menyekutukan Allah, sehingga dia menyembah selain Allah di samping Dia.

Lalu diakhiri dengan firman-Nya: Fa alqiyâhu fî al-adzâb al-saydîd (maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat”). Menurut al-Qurthubi, al-Syaukani, dan al-Zuhaili ini merupakan ta’kîd (penegasan) terhadap perintah sebelumnya.

Demikianlah. Orang-orang kafir dengan segala sifat buruk mereka akan dibangkitkan pada Hari Kiamat. Semua catatan amalnya akan diserahkan kepada Allah SWT. Tak ada yang terlewat dari amal perbuatan yang mereka kerjakan. Kemudian mereka dilemparkan ke dalam Jahanam. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.

Ikthtisar:

  1. Nasib orang-orang yang sangat ingkar dan keras kepala, mereka menghalangi kebajikan, melanggar batas, dan ragu-ragu yang menyekutukan Allah SWT
  2. Pada Hari Kiamat mereka dilemparkan ke dalam neraka Jahanam

 

Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 250

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *