Jabatan, Amanah Untuk Kemaslahatan Umat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Jabatan, Amanah Untuk Kemaslahatan Umat

Oleh Tutik Indayani
Pejuang Pena Pembebasan

Sepanjang sejarah, baru kali ini kepala desa seluruh Indonesia berdemo mendatangi gedung DPR/MPR. Alih-alih untuk memperjuangkan kemaslahatan umat, para kades dibawah naungan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi), melalui wakilnya, Sunan, menuntut untuk merevisi Undang-undang pasal 39 UU no 6/2014 tentang desa dan sebelum tahun 2024 sudah disetujui. Poin pentingnya para kades menuntut perpanjangan masa jabatan dari enam tahun menjadi sembilan tahun dan dijabat sampai tiga periode. Apdesi juga menuntut APBN 2024 mendatang memberikan formulasi besaran dana desa sebesar 7 – 10 % atau minimal 150 Triliun rupiah, untuk desa, dengan alasan untuk lebih memaksimalkan pembangunan desa.

Menurut Robi Darwis, selaku kades Poja, NTB, berpendapat masa jabatan enam tahun terlalu singkat lantaran tingginya friksi politik saat pemilihan kades. Hal demikian membuat konsolidasi antar elemen tokoh desa pasca kemenangan menjadi begitu alot. (Tirto, 19/1/2023).

Padahal jabatan enam tahun itu satu periode dan masih dapat dipilih kembali sampai tiga periode. Bila satu periode menuntut sembilan tahun, dapat dipastikan bila menjabat sampai tiga periode, kades tersebut akan menjabat selama dua puluh tujuh tahun. Suatu jabatan yang sangat lama dan ini akan sangat rentan sekali dengan kebocoran dana desa, ditambah lagi tuntutan besaran dana yang sangat fantastis jumlahnya.

Disinyalir gerakan para kepala desa ini diprakarsai oleh Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi ( PDTT), Abdul Halim Iskandar. Beliau menyampaikan bahwa ini adalah keinginan dari bawah, baik dari tingkat kades dan masyarakat.

Jabatan di Alam Demokrasi

Sudah menjadi rahasia umum, jabatan dan korupsi adalah sahabat sejati dalam sistem Demokrasi ini, dan ini adalah peluang para oligarki untuk memudahkan tujuannya mempertahankan kekuasaan.
Bukan hanya ditingkat atas, hal tersebut sudah menjalar sampai ke tingkat paling bawah, seperti masalah birokrasi yang menyangkut aparatur sipil dan perangkat desa.

Menurut Peneliti Pusat Study Hukum dan Kebijakan (PSHK), M Nur Ramadhan, menilai perpanjangan masa jabatan kades dari enam tahun menjadi sembilan tahun membuat potensi korupsi semakin besar.
” Masa jabatan yang panjang akan membuka peluang korupsi lebih besar, serta melanggar dan mengkhianati prinsip demokrasi yang telah susah payah dibangun sejak dulu.”
Ada 686 kades yang terjerat korupsi dana desa hingga tahun 2022. Hal itu menandakan potensi korupsi di tingkat desa tidak bisa dianggap remeh, ditambah lagi sekarang dengan tuntutan bantuan dana desa yang sangat besar jumlahnya. Apabila bantuan itu disetujui bisa jadi tuntutan seumur hidup.

Masalah ini juga menjadi perhatian dari Dedi Kurnia Syah, seorang Analisis politik dari Universitas Telkom, mengatakan bahwa kebijakan penambahan masa jabatan patut dicurigai sebagai bagian dari kebijakan gratifikasi, terlebih situasi menjelang pemilu saat ini. Dedi mengaitkan dengan adanya “gerakan kades mendukung tiga periode” beberapa bulan yang lalu. Bukan tidak mungkin kebijakan ini sebenarnya ditujukan untuk membuka peluang kekuasaan pemerintahan pusat

Jabatan kades pun seolah menjelma menjadi alat politik baru di luar parpol. Sangat mungkin sekali kongkalikong yang erat antar parpol berkuasa dan para kades. Bisa jadi seperti ini dipolitisasi oleh segelintir elite berkuasa atau oligarki.

Hal yang tidak biasa ini menimbulkan pertanyaan di berbagai kalangan. Mengapa pemimpinnya yang meminta perpanjangan jabatan? Bukankah seharusnya rakyatnya yang mengusulkan, karena yang merasakan langsung hasil kerja para kades ini adalah rakyat.

Sebetulnya tuntutan ini sangat logis, seperti pemborosan jelang Pilkades, program desa tidak bisa lancar terlaksana, tapi masalahnya adalah buruknya pengelolaan desa dan pelayanan perangkat desa terhadap warganya.
Banyak kasus-kasus BLT, raskin yang tidak tepat sasaran, adanya kasus pungli dari aparat desa, pengurusan surat-menyurat yang masih sulit dll.
Berapa lama masa jabatannnya, bila tetap berpijak pada politik demokrasi, hasilnya bukan untuk kemaslahatan umat, dapat dipastikan akan tunduk pada individu atau kelompok yang mendukungnya.

Demokrasi berazaskan sekulerisme, dimana peran agama dikesampingkan. Akhirnya masalah gratifikasi, suap seperti korupsi, pungli dsb tumbuh subur. Kekuasaan yang mereka kejar, sehingga menghilangkan rasa empati dan matinya hati nurani sehingga tanpa ragu- ragu para politisi menuntut kenaikan gaji, perpanjangan masa jabatan, meskipun masih banyak warganya hidup miskin.

Jabatan Dalam Islam

Kalau kita mau kembali pada aturan Islam, persoalan ini tidak akan menjadi masalah, karena semuanya sudah diatur dalam Islam.

Setiap jabatan itu adalah amanah, apalagi bagi seorang pemimpin yang disadari akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt kelak di akhirat.
Menjadikan syariat Islam sebagai pijakan dalam membuat aturan, seorang pemimpin atau penguasa akan selalu melindungi dan bertanggungjawab terhadap rakyat yang dipimpinnya.

Pada dasarnya seluruh kekuasaan dalam Islam ditujukan untuk menegakkan hukum Allah Swt dan amar ma’ruf nahi mungkar. Sistem pemerintahan dalam Islam tidak hanya efektif dan efisien, tetapi juga menutup peluang lahirnya diktatorisme, kesewenang-wenangan ataupun dominasi kekuasaan atau kelompok tertentu, sebab baik rakyat maupun penguasa tidak diberi hak untuk membuat hukum yang lazim digunakan untuk memaksa orang lain.

Adapun masa jabatan khilafah dan pemimpin di bawahnya yang dibatasi oleh wilayah yakni Wali dan Amil tidak dibatasi oleh waktu dan periode, melainkan dibatasi dengan hukum syariat.

Jabatan Khalifah dan pemimpin-pemimpin tersebut boleh diberhentikan di tengah jalan kapan saja jika terbukti melanggar syariat dan boleh menjabat hingga akhir hayat jika taat terhadap syariat. Ia dapat dipertahankan selama masyarakat masih menyukainya dan tidak ada aturan yang dilanggar artinya yang membatasi jabatan Khalifah adalah syarat tertentu selama ia masih memenuhi syarat tersebut.
Rasulullah Saw bersabda :
“Selama ia masih memimpin kalian sesuai dengan kitabullah, maka wajib didengar dan ditaati.” (HR. Muslim)

Demikianlah hanya penerapan syariat Islam Kafah yang mampu melahirkan pemimpin amanah dan merakyat.

Wallahu’alam bishshawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *