Tinta Merah Sertifikat Pranikah

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Siti Aisah, S.Pd (Guru dan Member Akademi Menulis)

Pernikahan langgeng dan sakinah mawadah wa rahmah adalah impian setiap pernikahan. Namun, ketika hal tersebut tidaklah mudah dan selalu seindah yang diharapkan. Hal ini karena menyatukan dua kepribadian, latar belakang, kebiasaan, karakter, keinginan, yang kemungkinan bisa berbeda. Sehingga riak-riak konflik menjadi suatu hal yang biasa, dan jika hal tersebut tidak mampu diatasi maka akan membawa pernikahan kepada pintu perceraian.

Hal inilah yang menjadi dasar pemerintah untuk mencetuskan wacana peluncuran sertifikat pranikah tahun depan. Pro-kontra yang bergulir diantaranya muncul dari Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendi mengatakan bahwa calon pengantin tidak boleh menikah jika belum memiliki sertifikat layak kawin. (nasional.tempo.co (14/11/2019) Menko PMK Muhadjir Effendi mencanangkan program sertifikasi perkawinan. Pasangan yang akan menikah harus mengikuti pelatihan tentang keluarga samara,ekonomi keluarga hingga kesehatan reproduksi. pelatihan pranikah diharapkan berdampak menekan angka perceraian, mengatasi angka stunting dan meningkatkan kesehatan keluarga. Sertifikat siap kawin ini menjadi syarat nikah.

Dilansir dari laman berita kompas.com, (19/11/2019) Alissa Wahid menjabarkan kembali tentang pentingnya sertifikat pranikah serta bimbingan pernikahan yang dilakukan oleh pasangan calon pengantin. Alissa mengatakan, bimbingan perkawinan dibutuhkan setiap pasangan calon pengantin karena jumlah angka pernikahan dan perceraian yang cukup tinggi. Menurutnya penyebab perceraian antara lain soal konflik berkepanjangan sehingga harus diselesaikan. Sehingga dalam hal ini perlu pembekalan atau bimbingan pernikahan, agar bisa dibahas cara mengatasi konflik pernikahan dengan baik dan benar.

Anggota Tim Pedoman Bimbingan Perkawinan Calon Pengantin kementerian Agama (Binwin Catin Kemenag) itu menegaskan bahwa yang diajarkan itu adalah cara mengelola kehidupan, mengelola hubungan, bagaimana memenuhi kebutuhan bersama, bagaimana prinsip kesetaraan dan kerja sama kesalingan itu juga muncul. “Kita harus kembali ke tujuannya, tujuannya adalah membekali calon pengantin untuk mengelola kehidupan perkawinannya,” kata Alissa usai bertemu dengan Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy, (kompas.com, 19/11/2019).

Rasanya Konflik menjadi suatu hal yang mudah terjadi, andai dari setiap masalah tidak diatasi dengan bijaksana maka sangat mungkin akan membawa pernikahan kepada perceraian. Hal ini menjadi sangatlah penting bagi setiap pasangan yang akan menikah untuk mulai mempersiapkan pernikahannya dengan baik. Walhasil, bisa mengantisipasi angka perceraian yang kian membengkak. Topan ataupun badai yang menerpa dapat dilalui dan diatasi dengan baik pula.

Point penting dari semua itu adalah kesabaran yang merupakan langkah utama ketika mulai muncul buih-buih perselisihan antar pasangan. Islam dalam hal ini memerintahkan kepada suami ataupun istri agar bergaul dengan cara yang baik, serta mendorong mereka untuk bersabar dengan keadaan masing-masing pasangan. Karena boleh jadi di dalamnya terdapat kebaikan-kebaikan. Allah SWT berfirman:

“Bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian, bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah). Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (TQS An-Nisa: 19)

Beberapa penyebab perceraian antara lain masalah ekonomi dan perselingkuhan. Hal ini dikarenakan Di era kapitalistik saat ini ketahanan keluarga tak cukup disiapkan oleh individu dengan tambahan pengetahuan dan keterampilan saja, tapi membutuhkan daya dukung Negara dan sistemnya yang terintegrasi untuk menanamkan takwa kolektif di tengah-tengah keluarga. Daya iklim ekonomi yang cerah serta kekondusifan bagi pencari nafkah keluarga, selanjutnya adanya jaminan kesehatan berkualitas dan gratis serta peran media yang steril dari nilai liberal.

Walhasil preventif komprehensif dari pemerintah harus diapresiasi dengan adanya program kursus calon pengantin untuk mencegah perceraian. Namun ini saja tidak cukup, karena tak mungkin mampu memberikan seluruh bekal untuk mengarungi biduk rumah tangga yang tidak singkat. Perlu dipahami juga bahwasanya ilmu berumah tangga itu tidak pasti seperti ilmu matematika dan tak pernah ada habisnya. Hal ini karena dalam berumah tangga, menjalankan peran sebagai istri-suami atau ibu-ayah dari anak-anak itu tidak ada kelasnya, sebab Sekolahnya itu adalah kehidupan itu sendiri. Namun, jika sistem pendidikan sudah mampu memenuhi konsep-konsep pernikahan dan kerumah-tanggaan sakinah ma waddah dan warrohmah, maka niscaya akan lahir generasi rabbani yang mampu memimpin dunia. Inilah kondisi yang diimpikan oleh semua keluarga.

Wallahuálam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *