Oleh : Sri Wahyu Indawati, M.Pd
Belajar dari kasus corona di China. Angka perceraian di China dilaporkan meningkat. Lu Shijun, manajer pencatatan pernikahan di Dazhou, Provinsi Sichuan, menceritakan ada 300 pasangan yang hendak bercerai sejak 24 Februari. Otoritas meyakini, meningkatnya perceraian di China bisa jadi disebabkan fakta mereka terlalu lama bersama selama karantina virus corona. (Daily Mail, 13/3/2020)
Ada 2 faktor yang menyebabkan perceraian tersebut. Pertama, karena menghabiskan banyak waktu di rumah, pasangan cenderung berdebat sengit dan secara terburu-buru memilih berpisah. Kedua, karena lambatnya penanganan, buntut dari tutupnya kantor pemerintah selama sebulan di saat karantina berlangsung.
Tak hanya Dazhou, kantor pencatatan pernikahan di Xi’an, Provinsi Shaanxi, juga melaporkan tingginya pasangan yang ingin bercerai sejak dibuka pada 1 Maret. Petugas pencatatan kepada Global Times mengungkapkan, satu kantor distrik bisa menerima hingga 14 permintaan dalam satu hari. Banyaknya kasus perpisahan membuat otoritas di Fuzhou menetapkan batas 10 pasangan per hari yang bisa mendaftarkan keinginan berpisah mereka.
Di Indonesia, di mana kasus COVID-19 terus meningkat, pemerintah akhirnya menerapkan sejumlah aturan social distancing yang meminta warga untuk tetap di rumah, bekerja dari rumah, belajar di rumah, serta menjauhi keramaian.
Walaupun pemerintah belum menerapkan aturan lockdown, tetap saja banyak perubahan yang terjadi di masyarakat, terutama bagi mereka yang biasanya berangkat ke kantor dan mengantar anak ke sekolah, kini harus bekerja dari rumah sekaligus menjadi guru bagi anak mereka.
Konflik rumah tangga sangat rentan terjadi. Apalagi perekonomian lesu dan seluruh kebutuhan pokok melonjak drastis. Ditambah pemotongan gaji buntut dari kebijakan perusahaan/kantor yang menganggap bahwa tidak ada istilah kerja dari rumah. Problem ini akan menimbulkan stres pada pasangan. Anak-anak pun dirasakan kian menyebalkan bagi sebagian orangtua. Tambah stres? Uring-uringan? Apakah ini yang terjadi pada kita?
Penerapan social distancing ini hampir 2 pekan dirasakan di beberapa kota di Indonesia. Bisa saja pasangan yang sudah menikah mengalami yang dirasakan oleh pasangan di China. Ketika pasangan yang terbiasa menghabiskan waktu secara terpisah, kini harus berada di rumah dalam waktu yang cukup panjang. Mau tidak mau, suami istri harus siap menghadapi pemicu pertengkaran dan meredamnya dengan pondasi keimanan serta kesabaran.
Ada beberapa aktivitas yang bisa dilakukan bersama pasangan dengan pondasi keimanan serta kesabaran saat menjalani masa social distancing dan lockdown, sbb:
1. Lihat kelebihan pasangan.
2. Berhias agar indah dipandang. Berhiasnya suami itu beda dengan istri ya. Lebih tepatnya suami cukup dengan mandi, wangi dan rapi.
3. Memasak dan berkebun bisa dijadikan sebagai family time.
4. Lakukan ibadah bersama keluarga. Seperti sholat berjama’ah, membaca al-Qur’an, menghafalnya dan muroja’ah, puasa sunah, kajian Islam di rumah bersama keluarga, dll.
5. Membaca buku dan bercerita.
6. Berolahraga sambil bermain di dalam atau di halaman rumah.
7. Bersih-bersih lingkungan rumah.
8. Dakwah sosial media.
Rasa bahagia bisa hadir dalam aktivitas tersebut jika di dalam diri individu dibekali keimanan, masyarakat yang taat hukum syara’, serta penjagaan negara dalam memenuhi kebutuhan asasi rakyat selama masa social distancing dan lockdown. Karena bagaimana pun social distancing dan lockdown adalah syari’at Islam yang harus dilaksanakan ketika terjadi wabah penyakit. Rasulullah SAW bersabda terkait aturan lockdown,
“Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari)
Di dalam sistem Islam, tak hanya penerapan lockdown untuk mencegah merebaknya wabah penyakit. Akan tetapi ditopang dengan aspek pemenuhan asasi dan pemantauan secara intensif seperti yang dilakukan Daulah Khilafah.
Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, tahun 18 Hijriyah. Suatu hari Umar bin Khattab bersama sabahat-sahabatnya, melakukan perjalanan menuju Syam. Sebelum memasuki Syam, di perbatasan mereka mendengar sebuah kabar tentang wabah penyakit kulit yang menjangkiti wilayah tersebut.
Penyakit kulit ini dinamai Wabah Tha’un Amwas. Penyakit menular yang menyebabkan benjolan di seluruh tubuh. Benjolan yang terus tumbuh hingga pecah, membuat penderita mengalami pendarahan hingga kematian.
Beberapa waktu kemudian, Gubernur Syam, Abu Ubaidah bin Al Jarrah, datang menemui rombongan Umar di perbatasan. Terjadi percakapan di antara para sahabat dengan Umar. Akhirnya mereka bersepakat untuk mengikuti Hadits Nabi, untuk tidak masuk ke daerah Syam yang sedang mengalami wabah, dan kembali pulang ke Madinah. Tak hanya pulang ke Madinah begitu saja, akan tetapi Khalifah Umar memberikan bantuan logistik bahkan fasilitas pengobatan untuk penduduk dan tenaga medis yang berada di Syam.
Syam diberlakukan lockdown. Setiap beberapa waktu sekali, Abu Ubaidah mengabarkan situasi kondisi yang terjadi di Syam, kepada Umar bin Khattab. Satu persatu sahabat Umar meninggal saat wabah, hingga tercatat sekitar 20 ribu orang yang wafat karena wabah. Jumlahnya hampir separuh dari penduduk Syam, termasuk di dalamnya ada Abu Ubaidah.
Posisi Gubernur kemudian digantikan oleh Amr bin Ash, Sahabat Umar. Amr bin Ash memerintahkan kepada penduduk Syam untuk saling berjaga jarak, agar tidak tidak saling menularkan penyakit, dan berpencar dengan menempatkan diri di gunung-gunung. Penularan penyakit kusta pun dapat diredam, dan Syam kembali normal.
Demikianlah penerapan Islam oleh Negara Khilafah, mengurusi urusan umat dengan keimanan dan ketaatan terhadap Islam kaffah. Tak hanya keluarga yang merasa tenang, hal itu juga dirasakan oleh seluruh rakyat. Sayangnya, kasus corona sudah terlajur menulari Indonesia. Itu akibat tidak mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW yaitu syari’at Islam.
Pikiran rezim hanya untung rugi ala kapitalis, lebih sayang uang, pariwitasa dan proyek asing ketimbang rakyatnya sendiri. Padahal rakyatnya ini sumber pemasukan negara, yang selalu dikejar-kejar dengan pajak. Corona telah merenggut anak, suami, istri, ayah, ibu dari setiap keluarga. Kalau pun corona menambah keretakan rumah tangga sebagaimana terjadi di China, rezim ini tak akan pernah peduli. Itulah rezim dalam sistem kapitalisme-demokrasi. Sudah tampak kemenangan Islam itu akan kembali. Wallahu’alam[]