Kumpul Kebo di Tengah Harapan Indonesia Emas 2045, Emang Bisa?
Siska Ramadhani
Fakta menjijikkan, kumpul kebo di Republik Indonesia di tengah harapan pemerintah terhadap Indonesia Emas 2045 begitu tampak jomplang. Bak sebuah kemustahilan yang diupayakan semaksimal mungkin supaya menjadi sebuah kenyataan. Memilukan!
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa setidaknya ada tiga hal pokok yang akan menjadi acuan untuk menggapai visi Indonesia Emas 2045. Disini saya mengutip poin ketiga, yaitu Sumber Daya Manusia (SDM) yang menjadi kekuatan besar bangsa Indonesia.
“Ini kekuatan besar kita. Kita jangan hanya menang dari segi jumlah, tetapi juga harus dari segi kualitas SDM-nya,” ujar Kepala Negara. (Indonesia.go.id, 14 juli 2023).
Pada dimensi lain, fakta mengerikan datang dari sebuah studi yang berjudul The Untold Story of Cohabitation tahun 2021. Dalam studi tersebut mengungkapkan bahwa “kumpul kebo” atau kohabitasi lebih marak terjadi di Indonesia bagian Timur. Adapun yang menjadi pelaku kohabitasi paling banyak adalah kaum non-muslim.
Yulinda Nurul Aini, peneliti muda dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang juga dikutip CNBC Indonesia (5/10.2024), mengungkapkan hasil analisisnya terhadap data dari Pendataan Keluarga 2021 (PK21) milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bahwa sebanyak 0,6 persen penduduk kota Manado, Sulawesi Utara melakukan kohabitasi atau kumpul kebo.
“Dari total populasi pasangan kohabitasi tersebut, 1,9 persen di antaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3 persen berusia kurang dari 30 tahun, 83,7 persen berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6 persen tidak bekerja, dan 53,5 persen lainnya bekerja secara informal,” lanjutnya.
Masalah
Fakta adanya aktifitas menjijikkan “kumpul kebo” di Manado, Sulawesi Utara begitu menyayat hati. Itupun baru satu fakta yang terungkap, lalu bagaimana dengan kumpul kebo daerah lain yang belum terungkap?.
Kumpul kebo yang dilakukan oleh sepasang muda-mudi tentunya aktifitas yang dilarang oleh norma adat dan agama. Selain karena mendatangkan mudharat bagi si pelaku, aktifitas ini juga mendatangkan mudharat bagi anak yang lahir dari hasil kumpul kebo tersebut.
Dari hasil penelitian yulinda, masalah utama yang kerap muncul pada pasangan kumpul kebo ialah perekonomian, itu menurut saya. Mau makan dari mana jika kumpul kebo tapi tidak memiliki pekerjaan?. Terlebih tamatan SMA, bukannya saya merendahkan tamatan SMA, sekarang tamatan S1 saja sulit mendapatkan pekerjaan.
Tidak ada pekerjaan sama dengan tidak mendapatkan penghasilan atau uang. Sementara hidup perlu uang untuk biaya pangan, sandang, dan papan. Seandainya ada anak dari hasil kumpul kebo tersebut, tentu biaya hidup akan bertambah banyak. Sementara kondisi keuangan kanker (kantong kosong).
Alhasil suasana hubungan pasangan kohabitasi dilanda cekcok yang berujung kekerasan dalam… dalam apanih?, Rumah tangga?, kan belum menikah. Mungkin istilah yang lebih tepatnya ialah KDKK (Kekerasan Dalam Kumpul Kebo).
Kemudian, anak hasil kumpul kebo juga berakibat pada terhambatnya tumbuh kembang. Sesuatu yang pasti terjadi ialah judge dari orang sekitar terhadap si anak yaitu “anak haram”. Judge yang menyakitkan tersebut sedikit banyaknya tentu berpengaruh terhadap mental dan emosional si anak.
Mustahil
Menurut saya masalah kumpul kebo tidak terlepas dari peran negara. Saat ini negara lalai dan tidak tegas dalam mengentaskan masalah ini. Padahal negara memiliki power besar untuk menyelesaikan masalah kumpul kebo sampai ke akarnya.
Nahasnya, sistem sekuler yang lahir dari ideologi Kapitalisme semakin berkarat di Indonesia. Sistem ini membuat masalah kumpul kebo tak kunjung usai. Pemisahan agama dari kehidupan melahirkan hukum yang tidak membuat jera pelaku. Karena hukum berasal dari buatan manusia yang sarat akan kepentingan.
Disisi lain saya yakin pembaca telah mengetahui fakta mengerikan bahwa negara sibuk mengurusi jalan tol, pembangunan, dan perekonomian dari pada kualitas SDM. Lalu, apa bisa terwujud Indonesia 2045 jika SDM bermasalah secara fisik, mental, dan emosional?. Kalau menurut saya sih tidak ya, jauh panggang dari api. Bagaimana menurut pembaca yang budiman?
Keniscayaan
Saya optomis Indonesia emas terwujud pada sistem yang shahih yaitu sistem Islam. Jangankan untuk tinggal seatap, khalwat antara laki-laki dan perempuan saja dilarang. Sebagaimana sabda Rasulullah sebagai berikut:
“Janganlah seorang laki-laki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Cinta dan kasih sayang adalah hal yang fitrah dalam diri manusia. Oleh karena itu, Allah mengatur penyalurannya dengan elok dan apik melalui proses ta’aruf-khitbah-nikah. Setelah menikah semua aktifitas yang dilakukan pasangan dilanda asmara berbuah pahala.
Tidak perlu biaya gedung, make up dan catering yang mahal, yang penting berkah dan diridhoi-Nya. Tidak perlu uang milyaran, cincin besi bisa saja dijadikan mahar. Seperti sabda Rasulullah:
“Carilah (mahar) walaupun hanya cincin dari besi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Seandainya terdapat pelaku kohabitasi dalam sistem Islam, pengentasan secara masif sampai ke akar akan segera dilakukan. Melalui hukum cambuk yang diberikan kepada pelaku yang belum menikah dan hukum rajam (hukuman lempar batu sampai mati) bagi pelaku yang sudah menikah. Sebagaimana Sabda Rasulullah s.a.w:
“Ambillah dari diriku, ambillah dari diriku, sesungguhnya Allah telah memberi jalan keluar (hukuman) untuk mereka (pezina). Jejaka dan perawan yang berzina hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun. Sedangkan duda dan janda hukumannya dera seratus kali dan rajam.” (HR. Muslim)
Tiada jalan lain untuk mengentaskan kumpul kebo dan wujudkan Indonesia emas selain memerangi sistem rusak Kapitalisme. Kemudian, bersama menerapkan sistem shahih yang berasal dari pencipta sekalian alam, yaitu sistem Islam. Hanya dalam Islam harapan Indonesia emas menjadi sebuah keniscayaan.
Wallahu’alambishawab.