Islam Penangkal Krisis Keluarga

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Anisa Rahmi Tania

Bagaikan telur diujung tanduk, begitulah kiranya nasib keluarga di negeri ini. Hal tersebut tergambar dari kenyataan bahwa perceraian di Indonesia menembus angka 408.202 kasus di tahun 2018, meningkat 9% dibanding tahun sebelumnya. Artinya nyaris setengah juta pasangan suami istri cerai di sepanjang 2019.

Angka ini bukanlah angka kecil, karena angka yang terdata adalah yang tercatat di lembaga Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Bisa jadi fakta di tengah masyarakat lebih tinggi lagi kasus keretakan keluarga ini.

Sebagaimana dikutip dari databoks.katadata.co.id penyebab terbesar perceraian pada 2018 adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus dengan 183.085 kasus. Faktor ekonomi menempati urutan kedua sebanyak 110.909 kasus. Sementara masalah lainnya adalah suami/istri pergi (17,55%), KDRT (2,15%), dan mabuk (0,85%).

Krisis yang melanda keluarga ini tidaklah berdiri sendiri. Faktor ekonomi, sosial, pendidikan, hingga peraturan terlibat di dalamnya. Adanya goncangan dalam keluarga pada dasarnya adalah imbas dari krisis-krisis lainnya yang tidak dapat tertangani.

Dalam hal ini adanya UU ketahanan keluarga yang sedari awal telah menuai pro kontra tampaknya memang tak bisa jadi solusi juga. Karena UU ini dianggap tumpang tindih dengan UU KDRT, HAM, Perlindungan Anak, dan seterusnya.

Pegiat feminis tentu tidak tinggal diam. Mereka terang-terangan menolak UU ketahanan keluarga ini karena dianggap kembali ke masa lampau akibat menempatkan suami sebagai pencari nafkah dan istri sebagai pengatur rumah tangga. Hingga UU ini dianggap melanggengkan budaya patriarki.

Begitu pula dengan aktivis HAM. Salah satu yang disoroti dalam UU ketahanan keluarga ini adalah adanya perlindungan dan dorongan untuk melaporkan tindakan penyimpangan seksual salah satunya L9BT. Jelas hal ini tidak sejalan dengan asas kebebasan yang diusung pegiat HAM. Dimana menurut mereka setiap orang berhak menentukan kecenderungan seksualnya.

Melihat realitas tersebut, tumpang tindihnya aturan dan arah kebijakan pemerintah memperlihatkan tidak adanya standar baku yang tegas yang dijadikan dasar acuan penentuan aturan.

Hal ini karena sistem yang diadopsi negara ini adalah sistem yang lahir dari kepentingan manusia. Sekulerisme, sistem yang memisahkan agama dari kehidupan lahir untuk memuaskan kepentingan duniawi tanpa mengindahkan adanya akhirat.

Sehingga tak heran jika negeri ini tak punya aturan yang menyelesaikan permasalahan sampai tuntas. Dalam masalah krisis keluarga misalnya, jika melihat akar masalahnya, latar belakang timbulnya masalah ini selain karena faktor ekonomi, juga faktor pendidikan dan pemahaman agama.

Ketika kebutuhan ekonomi mendesak, sementara lapangan pekerjaan untuk sang suami sulit, mau tak mau sang istri yang berperan ganda sebagai pencari nafkah. Negara yang juga mendorong keterlibatan kaum ibu untuk menopang perekonomian punya andil besar dalam retaknya keluarga. Termasuk menambah banyak deretan kasus penelantaran anak, broken home, hingga kenakalan remaja.

Ditambah dengan pemahaman yang minim berkaitan dengan pernikahan, hak dan kewajiban suami istri, membuat keluarga semakin goncang. Peran negara kembali dipertanyakan tatkala minusnya kualitas pendidikan dalam mempersiapkan individu laki-laki yang bertanggung jawab, dan perempuan yang siap dalam mencetak generasi dengan keilmuan yang mumpuni.

Namun apa mau dikata, peran perempuan sebagai pencetak generasi pun sudah lama dialihkan. Kaum ibu yang bekerja dipandang lebih terhormat dan berprestasi dibanding ibu yang 24 jam membersamai keluarganya.

Itulah mengapa akhirnya keretakan keluarga semakin dahsyat, kasus anak-anak yang jadi korban perceraian orang tua pun semakin meroket. Sistem hari ini memang tak mampu memberi pengaturan yang memberi solusi, sebaliknya malah menambah masalah.

Oleh karena itu, hanya siatem Islam yang mampu mewujudkan keluarga sakinah. Menjadikan keluarga kuat dan melahirkan generasi terbaik. Karena Islam mempunyai seperangkat aturan rumah tangga yang kuat.

Menempatkan kedudukan istri dan suami sesuai fitrahnya. Aturan Islam yang menunjuk suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga dan istri sebagai pengelolanya dijalin dalam interaksi persahabatan. Masing-masing mempunyai tanggung jawab yang luar biasa terutama dalam hal pendidikan anak.

Terlebih Islam menempatkan posisi istri sebagai makhluk yang harus dijaga, dilindungi kehormatannya, dan dipenuhi segala kebutuhannya. Kedudukannya mulia bagi anak-anaknya.

Ukuran kehormatan dalam Islam bukanlah materi, tetapi keterikatannya dalam hukum syara. Karena pelaksanaan hukum syara yang mendatangkan mashlahat dan keberkahan. Maka materi tidak jadi standar kebahagiaan sebuah keluarga. Ridha Sang Khaliqlah yang dituju. Dengan peran negara yang maksimal dalam mengatur perekonomian dan pendidikan yang terarah. Keluarga di bawah naungan sistem Islam mampu wujudkan keluarga kuat yang sakinah, mawadah, warahmah. Dan menjadi penangkal dari krisis keluarga.

“Wahai sekalian manusia bertaqwalah kepada Rabb mu yang telah menciptakan kalian dari seorang diri, dan darinya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah memberikan keturunan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain , dan (peliharalah) hubungan kasih sayang. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian”. (Qs. An-nisa:1).

Wallahu’alam bishawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *