Cukupkah Benteng Keluarga Mengatasi Kekerasan Seksual?
Oleh. Istiana Ayu Sri Rikmaratri
Kontributor Suara Inqilabi
Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan Keluarga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Indra Gunawan mengungkapkan keluarga dan masyarakat dapat berkontribusi mencegah tindak pidana kekerasan seksual (TPKS). Indra menjelaskan, pencegahan kekerasan seksual khususnya dalam lingkup keluarga perlu terus digaungkan lewat kolaborasi. Selain itu, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) juga harus terus digaungkan agar bisa sampai pemahamannya kepada masyarakat dan khususnya pada keluarga. (Republika.co.id, 25/08/2023)
Sesungguhnya, UU TP-KS bukanlah solusi jitu untuk menangani kekerasan seksual yang terus meningkat di Indonesia, terlebih dalam kondisi darurat kekerasan seksual terhadap perempuan. Pasalnya, keberadaan UU TP-KS tidak solutif apalagi jika berkaca pada pengesahan UU terkait lainnya.
Pengesahan UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) sudah 18 tahun, tetapi ternyata KDRT masih terus terjadi, bahkan menjadi kekerasan terbanyak di ranah domestik di Indonesia dari tahun ke tahun.
Demikian halnya UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang bahkan sudah dua kali direvisi. Revisi pertama melalui UU 35/2014, revisi kedua melalui pengesahan UU 17/2016. Akan tetapi, faktanya, kekerasan seksual alih-alih bisa dicegah, justru terus meningkat, bahkan dilakukan orang dekat korban dan mereka yang seharusnya memberi perlindungan keamanan.
Tidak dapat dipungkiri, setiap tahun, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan (KtP) dan anak (KtA) terus meningkat. Data Kemen PPPA menyebut, pada 2019, kasus KtP tercatat sekitar 8.800 kasus. Pada 2020 sempat turun di angka 8.600 kasus. Lalu data November 2021, naik lagi di angka 8.800 kasus. Artinya, dalam tiga tahun terakhir hingga November 2021 sudah ada 26.200 kasus KtP. Dari data sebanyak itu, kekerasan fisik mencapai 39%, kekerasan psikis 29,8%, dan kekerasan seksual 11,33%. Sisanya kekerasan ekonomi.
Adapun KTA, kasusnya lebih banyak lagi. Kemen PPPA menyebut, pada 2019, terjadi sebanyak 11.057 kasus, 11.279 kasus pada 2020, dan 12.566 kasus hingga data November 2021. Dari data tersebut, 45% berupa kekerasan seksual, 19% kekerasan psikis, 18% kekerasan fisik, dan sisanya kekerasan ekonomi.
Selain itu, bisa kita katakan, hari ini tidak ada satu tempat pun yang aman. Di semua tempat, kekerasan bisa terjadi dan pelakunya bisa saja orang paling dekat dan dihormati, seperti saudara, bahkan orang tua di rumah, di tempat umum, lembaga sekolah, bahkan di pondok pesantren sebagaimana terjadi akhir-akhir ini. Hal ini jelas menunjukkan ada kerusakan parah dalam masyarakat. Tidak adanya kepedulian, rasa kemanusiaan dan penghormatan kepada sesama manusia. Maka kekerasan seksual tidak cukup di cegah dari ranah keluarga saja tetapi butuh peran masyarakat terutama juga keseriusan negara dalam menuntaskan masalah pelecehan dan kekerasan seksual.
Akar Masalah
Secara fitrah, manusia memiliki naluri kasih sayang. Naluri ini menuntut pemenuhan. Saat ini, cara pandang pemenuhannya mengacu pada Barat, yaitu menghalalkan segala cara demi mendapatkan kepuasan. Perempuan hanyalah objek pemuas saja.
Bagaimana dengan agama? Menurut sekularisme, agama hanya dianggap dogma. Peranannya sebatas pada ibadah. Sedangkan untuk menjalankan hidup, manusia bebas memutuskan. Alhasil, mereka akan menuruti nafsu daripada mengikuti tuntunan agama.
Selama memakai cara pandang dan aturan Barat yang di buat berlandaskan liberalisme, kasus kekerasan terhadap seksual akan terus meningkat. Undang-undang yang ada tidak dapat menjamin masalah ini selesai dengan tuntas. Persoalannya bukan pada undang-undang saja, tetapi pada pemahaman yang sudah telanjur mendarah daging. Apalagi undang-udang tidak bisa menghukum jika dilakukan suka sama suka.
Jika kita cermati, banyaknya kekerasan seksual terhadap perempuan karena tidak adanya perlindungan terhadap perempuan, baik dalam negara, masyarakat, maupun keluarga akibat minimnya pemahaman tentang kewajiban masing-masing, serta tidak berlakunya aturan baku di tengah umat.
Semua ini dampak umat Islam sedang berada dalam cengkeraman sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini memberikan kebebasan bagi perilaku menyimpang, seperti pacaran, elgebete, dan sejenisnya. Ditambah peran media yang banyak merangsang pemenuhan naluri seksual secara liar. Sistem ini telah mengikis ketakwaan individu. Walhasil, kriminalitas banyak terjadi, mulai dari perundungan, penganiayaan, pelecehan, intimidasi, hingga pembunuhan. Inilah akibat dari penerapan sistem sekularisme. Perubahan UU atau pembuatan RUU yang notabene berasal dari pikiran manusia yang lemah dan terbatas tidak akan menyelesaikan masalah tersebut.
Islam Menjamin Keamanan Perempuan
Islam memiliki sistem sempurna. Apabila seluruh aturan diterapkan, kekerasan terhadap perempuan dapat tercegah. Islam juga akan melindungi anak-anak, baik perempuan maupun laki-laki. Tidak ada perlakuan berbeda.
Penerapan sistem pergaulan Islam menjaga interaksi antara laki-laki dan perempuan. Mereka menundukkan pandangan, tidak akan berani berdua-duaan dengan nonmahram ataupun campur baur laki-laki dan perempuan tanpa alasan syar’i, dan wajib menutup aurat dengan sempurna. Selain peraturan di ranah publik, Islam juga memberikan aturan dalam ranah rumah tangga. Bagaimana orang tua bersikap terhadap anaknya dan sebaliknya. Terdapat fikih suami dan istri yang akan membuat rumah tangga menjadi sakinah, mawaddah wa rahmah jika terapkan.
Islam juga memberikan sistem sanksi yang tegas. Hukuman berfungsi sebagai jawabir dan zawajir. Jawabir yaitu hukuman yang dikenakan pada pelaku akan menebus dosanya. Sedangkan zawajir yaitu hukuman yang diterapkan akan mencegah orang lain melakukan tindakan yang sama. Islam pun memiliki seperangkat aturan yang akan melindungi perempuan dan memerintahkan untuk berbuat baik kepada perempuan, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para wanita.” (HR Muslim: 3729).
Negara wajib untuk melindungi perempuan. Hal ini tercermin dalam tindakan Rasulullah saw. ketika ada seorang muslimah yang diganggu oleh laki-laki Yahudi Bani Qainuqa sampai tersingkap auratnya. Rasulullah saw. mengirim pasukan kaum muslim untuk mengepung perkampungan Bani Qainuqa hingga mereka menyerah dan mengusir mereka keluar dari Madinah. Contoh lain tercermin pada masa Khalifah Mu’tashim Billah yang mengirim pasukan yang sangat banyak untuk membela seorang muslimah yang dianiaya oleh tentara Romawi di wilayah Amuriyah. Dengan demikian sangat jelas bahwa Islamlah yang dapat menjamin keamanan perempuan. Penerapan aturan Islam secara kafah akan memberikan rasa aman bagi perempuan.
Wallahu’alam bishshawaab.