Benteng itu Bernama Keluarga

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Benteng itu Bernama Keluarga

 

Nisa Agustina

(Muslimah Pegiat Literasi)

 

Harta yang paling berharga adalah keluarga

Istana yang paling indah adalah keluarga

Puisi yang paling bermakna adalah keluarga

Mutiara tiada tara adalah keluarga

 

Sebait lagu di atas sangat sering kita dengar. Gambaran Keluarga Cemara yang selama ini direfleksikan sebagai keluarga harmonis dan bahagia. Dengan anggota keluarga yang lengkap beranggotakan ayah, ibu, dan anak-anak. Saling mencintai dan menyayangi satu sama lain dalam kondisi senang maupun susah. Setiap orang pasti mendamba hidup dalam keluarga yang harmonis. Karena keluarga harmonis adalah indikator ketahanan keluarga.

Namun, menciptakan keharmonisan keluarga tidaklah mudah. Banyak sekali kita saksikan keluarga hancur karena perselingkuhan, kesulitan ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, dan motif lainnya. Tren angka perceraian tiap tahun mengalami peningkatan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, terdapat 516.344 kasus perceraian di Indonesia pada 2022. Jumlah tersebut meningkat 15,3% dibandingkan pada tahun sebelumnya sebanyak 447.743 kasus. Berdasarkan wilayahnya, perceraian paling banyak terjadi di Jawa Barat, yakni 113.643 kasus. Jawa Timur menyusul di urutan kedua dengan 102.065 kasus perceraian. (dataindonesia.id. 01/03/2023)

Imbasnya kondisi anak-anak kian memburuk, situasi ini telah disadari oleh banyak pihak. Berbagai solusi coba dilakukan, namun bukannya menghentikan, justru kehancuran keluarga semakin meluas. Istri menggugat cerai suami semakin banyak. Perselingkuhan semakin marak. Kenakalan anak-anak pun semakin menjadi-jadi seperti pergaulan bebas, narkoba, prostitusi anak, geng motor, dan peningkatan kasus perundungan yang begitu signifikan hingga memakan korban jiwa. Itu semua menambah deratan problematika yang dihadapi keluarga Indonesia saat ini.

Jika kita telusuri lebih dalam, maka permasalahan keluarga saat ini akibat diterapkannya sistem kapitalis sekular yang mengagungkan kebebasan. Manfaat dan kesenangan materiil dijadikan sebagai landasan seseorang berbuat. Sistem ini terbukti telah menjadikan hidup semakin sempit. Tidak sedikit akhirnya mengharuskan para ibu membantu suami mencari tambahan biaya agar kebutuhan pokoknya terpenuhi, dan tentu saja yang akhirnya menjadi korban adalah anak-anak.

Cara pandang masyarakat tentang kehidupan telah bergeser karena arus kapitalisme dan materialisme memandang nilai kebahagiaan hanya diukur dari seberapa besar materi yang dimiliki tanpa peduli halal ataupun haram. Belum lagi tayangan atau konten di medsos, game online dan televisi yang tidak ramah terhadap anak dan remaja. Alih-alih bisa mencetak generasi peradaban yang unggul, keluarga saat ini bahkan terseok-seok untuk menjaga keutuhannya.

Dalam Islam, keluarga adalah pondasi bangunan masyarakat dan tempat pembelajaran tentang kehidupan yang pertama dan utama bagi anggotanya. Ketahanan keluarga yang kuat menjadi asas kekuatan suatu bangsa. Karena itu perbincangan tentang keluarga hari ini, di tengah pergulatan peradaban antara Islam dan materialisme yang telah mengabaikan ikatan keluarga bahkan menghancurkan bangunan keluarga, menjadi hal yang penting. Keluarga muslim telah dirusak oleh aturan dan nilai-nilai yang mengadopsi ideologi kapitalis.

Keluarga adalah benteng terakhir bagi generasi. Generasi tangguh terlahir dari keluarga yang utuh dan faham Islam kaffah, yang meniscayakan peran orang tua seutuhnya. Peran ayah sebagai pemimpin dalam rumah tangga dan ibu sebagai pendidik generasi sekaligus pengurus rumah tangga. Keduanya harus berjalan beriringan agar langkah untuk menggapai cita-cita keluarga harmonis tercapai.

Membangun keluarga dimulai dari membangun ketakwaan dalam diri. Setiap individu utamanya calon orang tua harus mengetahui bahwa tujuan berumah tangga adalah dalam rangka ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Itulah kenapa calon pasangan yang baik agamanya lebih utama.

Setelah sebuah keluarga itu terbentuk, maka ridho Allah adalah menjadi tujuannya. Setiap anggota keluarga haruslah taat pada seluruh aturan Allah dan menjauhi larangan-Nya. Karena kebahagiaan yang dituju bukan hanya di dunia, tapi kehidupan yang abadi kelak yaitu di akhirat yang kekal.

Allah berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (TQS. At-Tahrîm:6)

Keluarga merupakan pembentuk karakter anak yang paling utama dan pertama. Harusnya dari Pendidikan rumah, anak sudah tahu tujuan hidup, visi hidup dan pedoman hidup itu apa; yakni Islam. Di rumah, anak harusnya bisa mendapatkan gemblengan kedisplinan, kasih sayang dan kemandirian dari kedua orang tua. Karena pada dasarnya kedua orang tuanyalah yang akan mengantarkan dan menjadikannya baik atau sebaliknya, sebagaimana hadis Rasulullah saw.

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، حَتَّى يُعْرِبَ عَنْهُ لِسَانُهُ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah hingga ia fasih (berbicara). Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”

Karenanya, untuk mewujudkan keluarga yang benar-benar memberi pengaruh baik terhadap anak-anak terlebih bagi anak remaja kita, maka dibutuhkan sinergi suami dan istri, ayah dan bunda nya. Sinergi ini akan datang kalau keduanya punya standar hidup yang sama dan benar dalam membangun keluarga, tentu saja standar hidup ini harus datang dari Sang Khalik Al-Mudabbir, yaitu Islam. Kita, para orang tua harus memiliki pengetahuan dan pemahaman cukup untuk membimbing anak kita sesuai tuntunan Islam.

Walhasil, menjadi orang tua perlu ilmu, perlu pedoman, perlu belajar. Karena menjadi orang tua itu tidak alami, tidak otomatis. Ketika ini semua tidak dimiliki, maka orang tua akan serampangan mendidik anak, yang mereka perhatikan hanya prestasi akademik, gizinya dan materinya, tapi tidak tentang tujuan hidup dan pemahaman hidup. Kita berharap seiring perjalanannya waktu dengan bimbingan kita, anak-anak kita akan mampu menjawab dengan benar darimana ia, untuk apa ia hidup di dunia dan akan kemana ia nanti setelah kehidupan dunia ini. Bukan hal yang mudah memang, tapi kita harus terus berupaya.

Hal penting lainnya yang harus keluarga tanamkan pada anak adalah selalu melatih anak berpikir benar dan selalu bertanggungjawab atas setiap perbuatan yang dilakukannya. Kerap anak memiliki argumentasi sendiri terkait apa yang dilakukannya. Pandainya seorang anak berargumentasi, bisa jadi karena kecerdasan dan keingintahuannya yang besar.

Orang tua haruslah memberikan informasi yang benar, yang bersumber dari ajaran Islam yang kelak dijadikan pijakan dalam menilai berbagai informasi yang ia dapatkan. Hal ini sebaiknya dibarengi dengan menumbuhkan kesadaran pada anak bahwa segala perbuatan yang dikerjakannya akan ada pertanggung-jawabannya. Amal baik akan dibalas pahala dan amal buruk akan dibalas siksa. Dengan begitu, anak-anak akan hati-hati dalam bertindak. Mereka tidak mudah jatuh dalam keburukan. Jika melakukan suatu kekhilafan, ia akan segera menyadari lalu bertaubat dan memperbaikinya. Sikap tanggung-jawab, akan membuat anak-anak cerdas dalam mengontrol dan mengendalikan dirinya.

Keluarga yang bertakwa akan menghasilkan generasi yang berkualitas, bermanfaat untuk masyarakat dan berakhlak baik. Produktif dalam urusan duniawi maupun akhirat. Keluargalah yang nanti akan menjadi benteng Islam Kaffah. Tentunya, peran masyarakat dan negara sebagai tempat keluarga bernaung juga haruslah adalah negara yang menjalankan aturan dari Sang Khalik. Karena jika tidak, maka keharmonisan dan kesejahteraan keluarga yang dicita-citakan hanyalah sebuah mimpi.

Wallahu a’lam bish showab

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *