Anakku Malang, Ibuku Malang

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Nurhalifah, S.Pd.I (IRT, dari Sangatta- Kalimantan Timur)

NP (21) mengaku menyesal telah menganiaya anaknya ZNL (2,5) hingga tewas dengan digelonggong air. NP mengaku tidak bisa mengontrol emosinya. NP mengaku menyayangi putrinya itu. Namun dia tidak bisa mengontrol emosinya hingga mengakibatkan anak tewas di tangannya. NP mengaku menyiksa anaknya lantaran stres diancam akan diceraikan oleh sang suami. “Istrinya stress diancam diceraikan apabila anaknya ini dalam kondisi kurus tidak bisa gemuk,” kata Kanit Reskrim Polsek Kebon Jeruk AKP Irwandhy Idrus kepada wartawan di kantornya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Jumat (25/10/2019).

Irwandhy menyebutkan, karena ancaman sang suami, NP menjadi tertekan hingga mengambil jalan pintas untuk ‘menggemukkan’ anaknya dengan cara digelonggong air minum. (detikNews.com.25/10/19)

“Entah apa yang merasukimu Ibu”, kasus diatas adalah salah satu kasus KDRT yang sering dijumpai dimasyarakat, kekerasan Ibu terhadap anak ataupun sebaliknya, suami terhadap istri begitupun sebaliknya dan kekerasan-kekerasan yang lain hingga sekarang belum ada penyelesaiannya hingga keakar permasalahan. Pemerintah hanya mengandalkan Pasal 80 ayat (4) UU Perlindungan Anak dan atau Pasal 338 KUHP dan atau Pasal 351 KUHP, dengan kata lain jika ada Ibu yang melakukan kekerasan terhadap anaknya maka Ibunya akan dipenjara, anak malang Ibu pun malang.

Banyak faktor yang menyebabkan kekerasan Ibu terhadap anak atau kekerasan dalam rumah tangga terjadi. Di satu sisi, para ibu harus tetap memastikan tugas strategis dan politisnya mendidik generasi cemerlang berjalan dengan baik. Sementara tantangan yang dihadapi sedemikian banyak dan berat. Dari aspek ekonomi, sulitnya mendapatkan penghidupan layak akibat nafkah tak cukup dari para suami membuat para ibu harus berjibaku mencari tambahan pendapatan. Waktu berharga yang harusnya dioptimalkan untuk mendampingi tumbuh kembang anak, terpaksa dikorbankan. Belum lagi kelelahan yang dirasakan berlipat-lipat, membuat bibir para ibu sulit tersenyum dan tubuhnya kaku saat seharusnya mereka banyak memeluk anaknya dan mentransfer nilai-nilai kebaikan kepada mereka.

Stres bertambah saat anak-anak tumbuh membesar tak sebagaimana harapan. Tak menurut, banyak maunya, suka membantah, nakal, bahkan sebagian terjerumus dalam pergaulan bebas. Semua telunjuk seakan terarah kepadanya. Dia adalah ibu yang gagal. Dan semua kenakalan anaknya seolah menjadi tanggungjawabnya, sendirian!
Relasi dengan suamipun tak kalah dramatis. Kebersamaan yang kurang, membuat relasi makin hambar. Bahkan, kekecewaan akan ketidakberdayaan suami memberi jaminan finansial, lambat laun membuat pola relasi kian jauh dari harmonis. Peranpun beralih dan berjalan timpang. Ibu jadi ayah, ayah jadi ibu. Atau bahkan para ibu, berperan ganda. Akibatnya, pertengkaranpun menjadi alat komunikasi harian. Dan biduk rumahtanggapun jauh dari kesakinahan, hingga tak sedikit yang berakhir dengan perceraian.

Disinilah peran Pemerintah yang tidak hanya memfasilitasi ilmu parenting dan menghukum pelakunya. Namun lebih daripada itu ialah menyiapkan dan menjamin sarana prasarana, kebutuhan dasar dan pokok setiap keluarga hingga tidak ada dijumpai masyarakat yang kelaparan. Sejatinya Pemerintah adalah pelayan rakyat yang akan dimintai pertanggungjawabannnya jika ada rakyatnya yang kurang gizi atau kelaparan. Hal ini pun sangat ditekankan dalam sistem Islam.
Dalam Islam, individu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat, sampai-sampai Rasulullah SAW mengibaratkan umat itu adalah laksana satu tubuh (badanun). Itulah gambaran masyarakat Islam yang hidup dengan satu perasaan, pemikiran dan aturan yang diperlakukan oleh negara sebagai pelaksana yang memiliki wewenang dan kekuatan untuk menerapkannya. Dan dalam lingkup inilah Islam berbicara tentang kesejahteraan, termasuk kesejahteraan (amnun) ibu dan anak (ummun wa thiflun). Kesejahteraan secara sederhana diartikan sebagai terpenuhinya seluruh potensi yang dimiliki manusia secara optimal. Kesejahteraan biasanya disetarakan dengan kata keamanan, ketentraman, kesenangan hidup dan kemakmuran (rofhah). Oleh karenanya pemenuhan seluruh potensi manusia secara optimal yang dimaksud adalah pemenuhan kebutuhan pokok (adh-dharuriyat) seperti sandang, pangan, papan, keamanan, kesehatan dan pendidikan termasuk agama sebagai tuntunan hidup serta pemenuhan kebutuhan pelengkap.

Dalam konteks ini, aturan Islam khususnya sistem ekonomi Islam berupaya menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok setiap warga negara Islam (muslim dan non-muslim, lelaki dan perempuan) secara menyeluruh. Dimana pemenuhan kebutuhan pokok berupa barang (sandang, pangan dan papan) dijamin dengan mekanisme tidak langsung yakni dengan jalan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan tersebut.

Sedangkan kebutuhan pokok berupa jasa (keamanan, kesehatan dan pendidikan) dipenuhi dengan mekanisme langsung yakni pemenuhan langsung oleh negara. Dengan demikian dalam konteks kesejahteraan Islam telah membebankan tanggungjawab mewujudkannya pada tiga pihak:

Pertama, individu (syahsh). Pada dasarnya beban pemenuhan kesejahteraan asalnya berada pada pundak masing-masing individu. Akan tetapi, dalam konteks keluarga, Islam telah membebankan tanggungjawab (masuuliyyah) ini kepada setiap kepala keluarga yakni para suami dengan memerintahkan mereka untuk bekerja (‘amil) mencari nafkah. (QS Al-Baqarah:233, Al-Mulk:15, Al-Jumuah:10 dan Al-Jaatsiyah:12).

Rasulullah SAW mengatakan: “Apabila seorang muslim memberikan nafkah kepada keluarganya dengan mengharap keridhaan Allah, maka baginya shadaqah.” (HR Bukhari). Dan “Cukuplah seorang muslim berdosa bila tidak mencurahkan kekuatan (menafkahi) tanggungannya.” (HR Muslim).

Adapun para istri dan anak-anak tidak diwajibkan mencari nafkah sendiri. Yang menjadi kewajiban istri adalah mengelola atau mengatur rumah tangga, termasuk mengatur penghasilan suami sebijak mungkin, sehingga kesejahteraan keluarga dapat tercapai dan di sisi lain pelaksanaan kewajiban pokoknya sebagai ibu dan pengelola rumah tangga dapat dioptimalkan. Sabda Rasul SAW:

“Wanita adalah pemimpin di rumah tangga suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).

Hanya saja manakala kepala keluarga (suami) tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarga, kewajiban akan jatuh pada ahli waris dan kerabat terdekatnya. Jika ada yang mengabaikan kewajiban nafkah kepada orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya sementara ia mampu, maka negara berhak memaksanya untuk memberi nafkah yang menjadi kewajibannya.

Kedua, masyarakat (mujtama’un). Islam telah mengajarkan bahwa seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya. Ajaran ini akan menjadi tenaga penggerak munculnya kepekaan dan solidaritas sosial atas dasar iman.

Seorang muslim tentu tidak akan berdiam diri ketika melihat saudaranya tertindas atau ditimpa kesulitan (shu’uubah). Terlebih dalam Islam, kepedulian terhadap sesama dan kecintaan untuk menolong merupakan bagian dari sifat-sifat muslim.

Sebaliknya Islam melaknat orang-orang yang individualis, tak peduli nasib anak yatim dan fakir miskin, yang bisa tidur nyenyak sementara tetangganya kelaparan (juu’u). (QS Al-Maa’uun dan Alhadist)

Ketiga, negara. Negara berkewajiban memastikan setiap individu dan masyarakat bisa memenuhi tanggungjawabnya dalam memenuhi kesejahteraan. Yakni dengan jalan menyediakan berbagai sarana dan prasarana berikut kondisi yang kondusif bagi keberlangsungan berusaha, seperti penyediaan lapangan pekerjaan, bantuan modal dan lain-lain, termasuk penegakan hukum yang bersih dan konsisten di tengah-tengah masyarakat.

Bagi orang atau kelompok masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, sekalipun mereka telah berusaha maksimal, negara wajib menanggung kehidupan mereka dengan harta Baitul Mal, karena dalam Islam negara bertindak sebagai pemelihara dan pengatur urusan umat/rakyat dan bertanggungjawab mewujudkan kemaslahatan bagi mereka melalui penerapan hukum Islam secara kaffah.
Tdengan kebutuhan pokok berupa jasa (fadhl) seperti keamanan, kesehatan (shihhah) dan pendidikan, pemenuhannya mutlak tanggungjawab negara. Hal ini karena pemenuhan terhadap ketiganya termasuk ‘pelayanan umum’ (aammul khidamah) dan kemaslahatan hidup terpenting. Negara berkewajiban mewujudkan pemenuhannya bagi seluruh rakyat di mana seluruh biaya yang diperlukan ditanggung oleh Baitul Mal. Adapun mekanisme untuk menjamin keamanan (amnun) setiap anggota masyarakat adalah dengan menerapkan sistem sanksi (uqbat) yang tegas bagi para pelanggar. Sementara jaminan kesehatan dilaksanakan dengan cara menyediakan berbagai fasilitas, baik berupa tenaga medis, rumah sakit maupun aspek-aspek penunjang lain yang bisa meningkatkan taraf kesehatan masyarakat dan bisa diakses secara mudah, bebas biaya atau murah (rokhish). Demikian pula dengan pendidikan (tarbiyah), negara melaksanakan sistem pendidikan berdasarkan paradigma yang lurus bertujuan meningkatkan kualitas SDM umat hingga menjadi umat terbaik (ummatal ahsan), umat harapan masa depan. Jadi segala aspek yang menunjang, seperti penyediaan tenaga pengajar (mu’allim aw mudarris) berkualitas, sarana prasarana dan lain-lainnya menjadi tanggungjawab penuh negara. Semua fungsi negara ini dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin serta para khalifah sesudahnya. Hingga pada masa itu seluruh masyarakat tanpa kecuali bisa merasakan kesejahteraan hidup yang tidak ada tandingannya.
Wallahua’lam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *