Papua Membara, Butuh Solusi Fundamental

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Zahrotun N.F., S.Pd.

Di tengah hiruk pikuk RUU yang menimbulkan kontrfersi sehingga membuat mahasiswa bergerak dan pelantikan DPR yang baru, sebuah kasus mengerikan terjadi di bagian timur negera ini, wamena berdarah. Peristiwa aksi damai yang berujung rusuh dan akhirnya mengakibatkan puluhan orang meninggal dan ribuan orang mengungsi untuk menghindari amuk massa. Kapolda Papua menyatakan bahwa 4.656 warga keluar Wamena-Jayawijaya, 880 mengungsi di Jayapura (1/10/2019, news.detik.com).

Peristiwa berdarah 23 september 2019 ini, diduga diakibatkan oleh isu rasis yang tersebar lewat media sosisal yang mengakibatkan massa mengamuk dan melakukan aksi di kantor pemerintahan (28/9/2019, news.detik.com). Rasa rasisme bergejolak dan membuat massa bergerak bahkan membakar kantor bupati jayawijaya. Padahal, setelah ditelusuri, polisi menemukan bahwa kabar yang menjadi pemicu massa tidaklah benar, hanya isu belaka (23/9/2019, regional.kompas.com).

Berulang kali kejadian rusuh di Papua seakan tidak ada solusi. Berulang kali warga melakukan kerusuhan, pemerintah seakan tidak memiliki daya untuk menghalau mereka hingga akhirnya jatuh puluhan, ratusan, bahkan ribuan. Pemerintah seakan terdiam dan tidak mampu melakukan apa-apa. Pengembangan wilayah Papua pun belum terlihat dampaknya untuk menghilangkan kerusuhan di sana. Isu separatisme terus tersiar bahkan mendapat dukungan dari dunia internasional.

Menyibak Akar Permasalahan Konflik Papua

Rasisme, merupakan sebuah pendorong kuat yang sering mengakibatkan kerusuhan di Papua. Banyak massa yang akhirnya “kalap”, tega membunuh tetangga atau temannya sendiri jika tidak sesuku. Rasa ini menjadikan massa seperti tidak punya rasa kasih sehingga dengan mudah membuat kerusuhan dan mengakibatkan korban jiwa.

Ikatan rasisme inilah yang harus dihilangkan dari masyarakat. Ikatan ini seperti ikatan yang ada di hutan rimba karena muncul saat terasa ada ancaman dan tanpa pikir panjang bisa jadi penyerangan brutal. Ikatan rasisme ini tidak pantas diemban oleh masyarakat karena ia hanya ikatan semu dan tidak manusiawi. Ikatan ini harus diganti dengan ikatan hakiki yang sudah terbukti mampu menyatukan keperbedaan yang ada di masyarakat.

Selain rasisme, tingkat pendidikan rendah dan kondisi ekonomi menjadi hal yang sering memicu konflik penduduk asli Papua. Masyarakat merasa diperlakukan tidak adil dan mudah sekali “dibujuk” untuk melakukan aksi separatisme. Pemerintah pun masih belum mampu mengembangkan Papua yang kaya dan malah menyerahkannya ke pada pihak asing sehingga mengakibatkan warga Papua seperti tidak memiliki apa-apa padahal lumbung emas di depan mata mereka. Hal ini karena ideologi kapitalis-sekuler yang membuat legal swastanisasi dan eksplorasi sumber daya alam oleh asing. Ditambah asas kapitalis yang menancap sehingga orientasi dalam pemerintahan bukanlah untuk meraih ridho Allah. Namun, kekuasaan digunakan untuk meraih keuntungan semata sehingga berdampak buruk dalam pengurusan masyarakat.

Solusi Fundamental

Konflik berulang di Papua harus diselesaikan dengan solusi fndamental agar tidak berulang. Ikatan hakiki harus dibangun di tengah masyarakat. Ikatan yang terbukti mampu menyatukan masyarakat walaupun berbeda suku, ras, dan bahasa. Ikatan ini adalah ikatan Islam. Sepanjang sejarah, Islam mampu menguasai hampir 2/3 dunia dengan beraneka ragam masyarakatnya. Perbedaan suku, ras, bahasa, agama tidak menjadi penghalang persatuan umat. Keadilan dalam sistem pemerintahan Islam yang menjadi kunci kesuksesan persatuan. Keadilan ini tegak karena bimbingan al-Qur’an dan As-Sunnah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga ikatan inilah yang harus diwujudkan.

Islam bukan hanya agama ritual namun juga sebuah ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Sehingga Islam mampu mengikat seluruh golongan dalam ideologinya. Sejak awal berdirinya daulah Islam yang pertama di Madinah, masa Rasulullah, perbedaan ada di tengah masyarakat. Namun seluruhnya merasa aman dan nyaman di bawah naungan Islam. Islam menghapus rasa ashobiyah (cinta golongan) yang ada di tengah masyarakat. Rasulullah bersabda, “Bukan dari golongan kami orang yang menyerukan kepada ashobiyah, bukan dari golongan kami orang yang berperang demi ashobiyah, dan bukan dari golongan kami orang yang mati mempertahankan ashobiyah” (HR. Abu Daud). Bagi penyeru ashobiyah bahkan separatisme, akan di tindak tegas oleh pemerintah.

Asas dalam sistem pemerintahan Islam adalah Islam, hukum syara’. Sehingga pelaksanaannya untuk meraih ridho Allah. Pelaksanannnya pun sesuai dengan aturan Allah.

Dalam Islam, lewat sistem penddidikannya, pemerintah akan melakukan edukasi di tengah masyarakat mengenai ikatan hakiki ini. Selain itu, pemerintah dalam Islam akan berlaku adil bagi setiap warga negara. Ekonomi juga akan dibangun untuk kesejahteraan warga negara. Islam juga tidak membolehkan adanya swastanisasi sumber daya alam sehingga sumber daya alam bisa digunakan oleh masyarakat. Hal ini akan mampu terwujud saat Islam dijadikan sebagai dasar negara yaitu dalam Khilafah Islamiyah. []
Wa Allahu ‘Alam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *