Oleh : Rianti Kareem (Aktivis Islam, dari Makassar)
Setiap insan mendambakan pernikahan impian penuh berkah, tentunya pernikahan berkah ini hanya bisa diraih ketika kita melaksanakan syariah Allah secara kaffah (menyeluruh) termasuk dalam hal pernikahan. Namun faktanya mayoritas masyarakat muslim masih jauh dari pelaksanaan pernikahan syar’i yang diberkahi. Umumnya Adat dan budaya masih menjadi patokan utama dalam pernikahan. Mulai dari acara lamaran hingga resepsi sangat kental dengan adat istiadat.
Terkhusus adat istiadat suku bugis Makassar, setelah lamaran dilanjut dengan proses pembahasan uang panai (uang seserahan) oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan. Pada pembahasan uang panai ini akan terjadi proses tawar menawar yang kadang cukup alot. Bagaimana tidak, dalam adat makassar terutama keluarga mempelai wanita yang tergolong keluarga terpandang namun masih awam dengan syariat islam akan memasang tarif uang panai yang begitu tinggi. Jika permintaan uang panai ini tidak disanggupi oleh pihak pria, maka mau tidak mau mempelai pria harus merelakan sang gadis pujaan hati. Tak jarang dalam kasus uang panai ini, calon mempelai batal menikah karena pihak laki-laki tak menyanggupi uang panai akan mengambil jalan pintas. Misalnya saja silariang (kawin lari) hingga yang paling tragis adalah kasus bunuh diri sebab cinta terhalang uang panai.
Uang panai berbeda dengan mahar dan keduanya wajib ada jika berpatokan pada adat istiadat bugis Makassar. Perbedaannya ialah uang panai ini dikhususkan untuk membiayai seluruh keperluan acara pernikahan mempelai wanita. Sedangkan mahar adalah barang berharga khusus diberikan untuk calon istri dan tidak boleh digunakan oleh siapapun kecuali pengantin wanita tersebut. Masalah uang panai nyatanya tak hanya ada di Makassar saja, misalnya di aceh dikenal dengan sebutan “Mayam”, kemudian istilah “Jujuran” dalam tradisi suku Kalimantan Selatan, sebutan “Jojo” untuk tradisi Sumatera Selatan, dan masih banyak ragam istilah lainnya disetiap wilayah Indonesia yang pada intinya adalah sama-sama problem uang seserahan yang wajib tersedia sebelum melangkah ke pelaminan. Padahal rukun nikah dalam islam hanyalah sighat (ijab-qabul), calon istri, calon suami, wali, dua orang saksi dan terakhir adalah mahar.
Meski demikian, akhir-akhir ini masyarakat mulai sadar dan kembali menyerukan pelaksaan syariah islam termasuk dalam hal pernikahan, lantas seperti apa pernikahan syar’i dalam islam ?
Pernikahan adalah proses menyempurnakan separuh agama serta menyatukan dua keluarga. Islam tidak mengenal istilah pacaran dan haram hukumnya pacaran dalam islam. Sehingga untuk menuju pernikahan, terdapat beberapa tahapan dalam islam yaitu ta’aruf (perkenalan), bernazhar (melihat) dan khitbah (peminangan/pelamaran) sesuai syar’iah, setelah itu masuk ke tahap penentu terjalinnya hubungan yang menghalalkan seorang pria dan wanita muslim dalam berinteraksi dan membina mahligai rumah tangga yaitu prosesi akad nikah sekaligus resepsi yang dikenal dengan istilah “walimah”.
Secara harfiah Walimah artinya berkumpul. Ada pula yang mengartikan walimah adalah acara berkumpul tamu undangan untuk makan bersama di acara pernikahan. Kata ‘Walimah’ berasal dari al-walam yang mempunyai arti al-jam’u (berkumpul), karena setelah prosesi ijab qabul dalam akad nikah keduanya biasa dan bisa berkumpul. Ada juga yang mengartikan al-walim itu makanan pengantin, maksudnya adalah makanan yang disediakan khusus dalam acara perayaan tasyakur pernikahan atau resepsi pernikahan.
Walimah bagian dari syariat islam, dalam proses walimah terdapat enam syarat yaitu; Pertama, selenggarakan walimah syari dengan ikhlas, dalam artian tidak berlebih-lebihan atau sederhana. Sebagaimana dijelaskan dalam hadist, “Walimah itu adalah hak (benar), menyelenggarakan walimah untuk yang kedua adalah kebaikan, dan menyelenggarakan untuk yang ketiga adalah suatu kesombongan”. (HR. Thabrani) Selain sederhana, dianjurkan bagi kedua calon mempelai agar tidak meminjam uang atau berutang sana sini demi membiayai proses walimah sebab terkesan memaksakan.
Kemudian syarat walimah syar’i yang kedua adalah Infishal (terpisah), hindari ikhtilat (campur baur) dari yang berlawanan jenis. Undangan wanita dan laki-laki harus dipisahkan dengan hijab atau batas pemisah. Demikian pula pada kedua mempelai, pisahkan tempat antara mempelai laki-laki dan wanita. Hal ini dilakukan guna menghindari terjadinya zinah pandangan dan hal-hal yang tidak diinginkan oleh tamu undangan dan tentunya menyesuaikan dengan syariat Islam.
Syarat Ketiga, No Tasyabbuh yang artinya hindari kebiasaan-kebiasaan orang kafir. Salah satu contoh yang biasa kita lihat adalah budaya makan sambil berdiri dan mengambil makanan berlebihan itu tidak boleh. Usahakan makan dan minum dalam keadaan duduk.
Berkaitan dengan wanita, syarat yang keempat, hati-hati Tabarruj (berhias secara berlebihan). Bagi calon pengantin wanita hendaklah tidak berhias secara berlebihan, dan hal ini juga berlaku bagi tamu undangan agar menghindari tabarruj.
Syarat yang kelima, boleh ada hiburan asal sesuai syariat. Sebagaimana dalam hadist “Pemisah antara apa yang halal (yakni pernikahan) dan yang haram yakni perzinaan adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan”. (HR. An-Nasa’i dan Ibnu Majjah). Maksudnya ialah boleh ada hiburan musik, namun musik yang dibolehkan adalah lagu-lagu yang bernafaskan Islam (religi) dan liriknya tidak mengandung unsur sara ataupun kata-kata mudharat.
Syarat yang terakhir adalah walimah dijadikan sebagai sarana dakwah dengan membentuk konsep sekreatif mungkin, seperti mengedukasi masyarakat tentang walimah syari, akan lebih berfaedah. Adapun salah satu pengaplikasian walimah sebagai sarana dakwah dengan cara menuliskan doa untuk pengantin di tempat ketika tamu undangan akan bersalaman dengan mempelai dan membuat tulisan-tulisan edukasi mengenai adab dan walimah syari.
Tentunya kunci syarat-syarat tersebut agar terlaksana dengan baik adalah komunikasi dan kordinasi antar dua keluarga mempelai. Meski walimah syar’i ini masih tergolong aneh dimata sebagian besar masyarakat, namun walimah seperti inilah yang dianjurkan oleh syariat islam. Jangan takut di labeli radikal apalagi di cap islam garis keras hanya karena berdiri kokoh diatas tuntunan syariah. Sebab bukti cinta kita kepada Allah dan Rasulullah adalah taat terhadap seluruh perintahNya dan menjauhi segala laranganNya, karena cinta tak hanya dalam hati saja namun ia butuh pembuktian. Maka buktikanlah cintamu terhadap islam dengan melaksanakan syariahNya secara kaffah (totalitas) dimana pelaksanaan syariah islam kaffah ini hanya bisa dijalankan dalam sistem islam juga yakni Khilafah islamiyah. []