Oleh: Afiyah Rasyad
Sepoi angin membawa rapenan -bekas jerami dibakar- beterbangan di udara. Angin membuatnya mendarat di mana saja, ada yang berarak mengalir di atas sungai yang jernih, banyak juga yang menempel di dedaunan yang tinggi, dan tentu ada yang menempel mesra pada baju-baju petani yang sudah mulai kelelahan.
Tak lama berselang, hujan datang membawa kebahagiaan. Para petani yang sibuk bekerja, sebagian besar memikih pulang. Namun, ada juga petani yang tetap bekerja, seperti pak Ramdan yang sibuk menutup bedengan bungah -bibit tembakau- dengan jerami yang tebal, lalu ditutup plastik yang sudah dijahit istri tercinta. Ternyata hujan menyapa hanya sekejap saja. Tak ada 30 menit, hujan sudah reda.
Pak Ramdan mengayuh sepeda dengan hati-hati menuju rumah. Cangkul diikat di atas rambanan lembayung, sementara rantang ada di setir yang sudah berkarat. Tiba di rumah, pak Ramdan disambut Fadil yang masih basah habis mandi hujan. Dengan cekatan, Fadil membuka tali di boncengan dan menurunkan cangkul ayahnya.
Usai bebersih diri, pak Ramdan dan keluarga bercengkrama menikmati hidangan bu Ramdan. Ada ubi bakar, kentang rebus, dan teh hangat yang tak begitu manis. Mereka selalu menikmati suasana itu dengan celoteh mesra seputar kegiatan masing-masing.
Fadil berkisah, bu Syafa yang bercerita tentang keimananan dan ketaqwaan. Bahwa keimanan itu adalah keyakinan 100% atau disebut juga aqidah Islam. Di mana makna aqidah adalah pemikiran menyeluruh tentang manusia, alam semesta, kehidupan, serta hubungan ketiganya dengan sebelum dan sesudah kehidupan.
Meski pak Ramdan dan bu Ramdan sudah tahu materi itu, mereka antusias mendengarkan Fadil. Bahkan dengan semangat menimpali, sehingga terjalin kehangatan yang lebih mendalam.
Fadil semakin terpacu untuk menyampaikan apa yang sudah didapatkannya dari bu Syafa. Jika mengaku beriman, maka harus dibuktikan. Rukun iman bukan hanya dihafalkan di lisan, namun harus dengan diiringi pembuktian. Karena iman berkaitan dengan sebelum dan sesudah kehidupan, maka hal ini tak lepas dari Allah SWT. Di mana sebelum kehidupan ada proses penciptaan, dan setelah kehidupan akan ada pertanggung jawaban di hadapan Allah.
Bu Syafa menjelaskan, jangan sampai manusia terjebak rasa. Meski manusia berilmu tinggi, tak boleh sedikit pun punya perasaan jumawa. Sangat berbahaya jika seseorang merasa lebih dari yang lain, sementara dirinya dipandang alim atau berilmu, malah disebut dengan gelar kehormatan, “Kyai atau Ustadz.”
Fadil melanjutkan tentang terjebak rasa. Disampaikan pada ayah bundanya bahwa ada seorang ulama yang terjebak rasa. Dia merasa dirinya paling berilmu dan menjadi orang sholih, sehingga saat ada yang datang padanya dia remehkan, dipandang sebelah mata, dan bahkan tak dipandang sama sekali.
Sang ulama merasa menjadi orang mulia dengan taqwa. Istri dan anaknya sering mengingatkan agar tak takabbur, namun ulama tadi tak mengindahkannya.
Fadil berkisah sambil sesekali meminum teh hangat. Bu Ramdan mendengarkan anak semata wayangnya dengan perasaan haru. Begitu juga pak Ramdan. Tak terasa butiran bening melewati pipi pak Ramdan tanpa permisi. Fadil kaget melihat ayahnya menangis.
“Ayah kenapa?” tanya Fadhil merasa bersalah.
“Ndak ada, Nak,” buru-buru pak Ramdan menghapus air matanya.
“Ayah bersyukur pada Allah dan senantiasa mengharap rahmat Allah. Semoga kita dijauhkan dari jebakan rasa yang bisa membuat kita tergelincir,” lanjut pak Ramdan.
“Oh, Alhamdulillah! Kirain Fadil melukai hati ayah,”
“Ayah justru bersyukur, kamu bercerita apa yang disampaikan bu Syafa pada kami, menjadi muhasabah bagi kami, Nak. Kita semua paham bahwa hidup ini Allah yang menciptakan. Kita punya tugas beribadah pada-Nya. Apapun aktivitas kita harus bernilai ibadah. Niat lillah, dan sesuai dengan syariat Allah, karena hal itu konsekuensi keimanan bagi kita sebagai muskim, pak Ramdan menjelaskan kembali.
Dan entah kenapa meski berulang-ulang penjelasan tentang misi penciptaan Allah terhadap manusia, Fadil selalu suka mendengarkannya. Bu Syafa juga sering mengingatkan bahwa segala perbuatan harus bernilai ibadah. Jangan terjebak rasa, merasa seluruh amal ibadah sudah diterima Allah.
Fadil yang sudah memasuki usia mumayyiz, anak yang dididik dengan lautan kasih sayang bunda dan ayahnya hingga usia sekolah, tumbuh menjadi anak yang peka terhadap Islam. Lembut hatinya tatkala mendapat kebenaran dari dalil-dalil Syar’i yang sering didengar dari kedua orang tua dn guru-gurunya.
Fadil sejak pagi itu, tatkala bu Syafa bercerita tentang ulama yang terjebak rasa, Fadil berjanji akan menjadi insan yang selalu berupaya meniti jalan keimanan yang lurus. Dia akan merawatnya hingga bisa menjadi pribadi yang muttaqin di hadapan Allah SWT.
Pak Ramdan tentu saja mengkawal dan memdampingi tumbuh kembang Fadhil sepenuh hati dan jiwa. Dia dan istrinya saling bersinergi membentuk karakter Islam dalam diri Fadhil, menjadikan Islam tolak ujur aktivitasnya.
Pak Ramdan termenung setelah Fadhil bercerita tentang terjebak rasa. Angannya berselancar ke masa silam, di mana dia masih tinggal di kota besar. Saat dirinya selalu dipandang sebelah mata oleh teman pengajiannya. Meski dalam kitab-kitab yang dikajinya melarang hal itu, namun dia merasakan aroma pandangan sebelah mata karena dia hanya pedagang cilok yang tak lulus SD.
Saat dia diberi jadwal jadi imam tarawih saat Ramadhan di masjid agung, ada teman ngajinya yang mencibirnya secara langsung.
“Heran, apa yang dilihat takmir dari antum. Kok bisa punya jadwal imam sholat Tarawih. Apa yang akan disampaikan seorang tukang cilok saat kultum setelah Tarawih?” ledek temannya itu.
Ledekan itu menjadi cambuk baginya untuk memperdalam tsaqofah Islam. Ledekan itu menjadi pelajaran baginya untuk tidak meremehkan siapa pun.
Akhirnya setelah pak Ramdan bisa membeli sawah di kampungnya, dia dan bu Ramdan pulang kampung untuk mengelola sawahnya. Mereka lebih memilih tinggal di kampung yang guyub dan ramah. Di kampung pak Ramdan tak berhenti mengkaji tsaqofah Islam, bahkan kini rumahnya menjadi basecamp kajian Islam.
“Ya Allah, berilah kami keistiqomahan dan kemudahan dalam melanjutkan estafet risalah nubuwwah. Semoga kami dijauhkan dari penyakit hati dan mara bahaya yang mengancam jiwa dan keutuhan jamaah. Semoga Engkau meridloi aktivitas kami. Kabulkan ya Allah!”
Itu salah satu bait doa yang rutin dilafalkan pak Ramdan di penghujung malamnya, sebelum dia berangkat ke masjid di kampungnya.