KISAH RASULULLAH ﷺ Bagian 9

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

 

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Pernikahan Abdullah dengan Aminah

Allah sudah menentukan bahwa jodoh yang paling tepat untuk Abdullah adalah Aminah binti Wahb. Aminah adalah gadis yang paling baik keturunan dan kedudukannya di kalangan suku Quraisy.

Musim semi tahun 570 Masehi pun tiba. Batang-batang gandum di Yaman tumbuh menjulang tinggi. Dedaunan kurma di kota Tha’if kembali bersemi. Sementara itu, padang-padang rumput dipenuhi harum bunga-bunga yang tumbuh di kebun-kebun.

Bagi penduduk Mekah, musim semi adalah tanda kebebasan dan dimulainya lagi perdagangan musim panas ke Syria. Abdullah pun berniat pergi musim ini.

“Kanda, sebenarnya hatiku sangat berat melepas kepergianmu. Entah mengapa hatiku diliputi kekhawatiran dan kegelisahan. Aku bahkan berharap dapat menemukan suatu alasan untuk menahan kepergianmu,” keluh Aminah kepada suaminya.

Abdullah tersenyum menentramkan, “Hatiku pun terasa tertinggal di sini, Dinda. Aku tahu begitu besar rasa sayangmu kepadaku sehingga engkau berharap dapat terus berada di sisiku.”

“Bukan cuma itu, damai rasanya berada di sampingmu, Kanda.”

Abdullah mengangguk, “Tetapi Dinda, kini di dalam perutmu ada bayi kita. Kau tahu aku adalah pemuda tak berada. Saat ini, kita hanya mempunyai lima ekor kambing perah. Selain itu, tak ada lagi kekayaan yang dapat menghidupi kita berdua selain sedikit kurma dan daging kering. Karena itu, inilah saatnya bagiku untuk pergi berniaga dan menambah penghasilan kita.”

Aminah terpaksa mengangguk menerima kenyataan itu. Ia memandang kepergian Abdullah dengan sendu, seolah itu adalah detik-detik terakhir ia dapat melihat wajah suaminya.

Hamzah bin Abdul Muthalib

Pada hari pernikahan Abdullah dengan Aminah, Abdul Muthalib pun menikahi sepupunya yang bernama Hala. Dari perkawinan ini, lahirlah Hamzah, paman Rasulullah yang seusia dengan beliau.

Abdullah Meninggal

Bersama kafilah dagang, Abdullah tiba di Gaza. Kemudian, dalam perjalanan pulang, ia singgah di Yatsrib. Di sana, ia tinggal bersama saudara-saudara ibunya. Namun, ketika kawan-kawannya dari Mekah hendak mengajaknya pulang, Abdullah jatuh sakit.

“Rasanya, aku takkan kuat menempuh perjalanan pulang,” kata Abdullah kepada kawan-kawannya. “Kalian berangkatlah dan sampaikan pesan kepada ayahku bahwa aku jatuh sakit.”

Kawan-kawannya mengangguk, “Akan kami sampaikan pesanmu. Baik-baiklah engkau di sini.”

Kafilah Mekah pun beranjak pulang. Ketika tiba di rumah, mereka menyampaikan pesan Abdullah kepada Abdul Muthalib.

“Harits!” panggil Abdul Muthalib kepada putra sulungnya. “Pergilah ke Yatsrib. Lihatlah keadaan adikmu. Jika sudah sembuh, jemputlah ia pulang.”

Harits pun segera berangkat. Ketika tiba di rumah paman-pamannya di Yatsrib, yang ditemuinya adalah wajah-wajah duka.

“Abdullah telah meninggal,” kata mereka kepadanya, “mari, kami antar engkau ke pusaranya.”

Harits pun menyampaikan berita sedih itu ke Mekah. Melelehlah air mata di pipi Abdul Muthalib. Namun, kesedihan yang paling berat dirasakan oleh Aminah. Apalagi di saat itu ia tengah menantikan kelahiran bayinya.

“Selamat jalan, Kanda,” isak Aminah, “hilanglah seluruh kebahagiaan hidupku bersamamu. Kini, tinggallah aku yang hidup untuk membesarkan bayi kita.”

Tidak lama lagi, bayi Aminah akan lahir. Bayi yang kelak ditakdirkan Allah menjadi orang besar yang mengubah jalannya sejarah dunia.

Peninggalan Abdullah

Saat meninggal, Abdullah meninggalkan lima ekor unta, sekelompok ternak kambing, dan seorang budak perempuan bernama Ummu Aiman yang kelak menjadi pengasuh Rasulullah. Nama aslinya adalah Barokah. Ia berasal dari Habasyah.

Bersambung

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *