RELEVANSI, NAIKNYA BIAYA HAJI DAN KAPITALISASI IBADAH

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

RELEVANSI, NAIKNYA BIAYA HAJI DAN KAPITALISASI IBADAH


Oleh Ummu Hanik

(Kontributor Suara Inqilabi)

Haji merupakan ibadah kesempurnaan bagi umat Islam. Semua umat Islam pasti bermimpi untuk bisa berangkat haji ke baitullah. Namun tak semua bisa memenuhi impiannya. Kenapa? Karena untuk pergi ke baitullah jelas butuh biaya yang tak sedikit.

Ibadah haji hanya bisa dilakukan oleh orang yang mampu. Mampu, mengandung maksud ada biaya dari berangkat haji sampai pulang kembali, dan ada kendaraan yang dipakai selama berhaji. Selain itu, aman dalam perjalanan berhaji juga jadi syarat yang harus dipenuhi,dan khusus wanita harus ada mahram.

Umat Islam di Indonesia yang berniat ibadah haji akan melalui proses mendaftar dengan biaya DP sebesar Rp. 25 juta. Dengan mendaftar, maka akan mendapat nomor porsi pemberangkatan. Setelah jadwal pemberangkatan turun sesuai nomor porsi, maka calon jemaah haji baru melunasi sisa biaya haji.

Terkait dengan biaya ibadah haji, di tahun 2023 biaya penyelenggaraan ibadah haji 2023 diusulkan naik menjadi Rp 69 juta. Usulan kenaikan ini dengan alasan demi keadilan dan keberlangsungan manfaat  dana haji.

Seperti dilansir CNN Indonesia, 20 Januari 2023, adanya kenaikan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang diusulkan oleh Pemerintah melalui Kementerian Agama sebesar Rp. 69 juta. Dengan kata lain, calon jemaah haji harus membayar hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp. 39,8 juta.

Usulan kenaikan ini, tentunya mendatangkan polemik di masyarakat. Sebagian menilai hal ini masih wajar seiring meningkatnya pelayanan dan komersialisasi haji dari pemerintah Arab Saudi. Akan tetapi, banyak pula masyarakat yang berkomentar negatif. Hal ini dipicu asumsi bahwa pada saat yang sama pemerintah Arab Saudi justru menurunkan biaya asuransi umrah dan haji sebesar 73% pada tahun 2023 ini.

Pada akhirnya, Masyarakat dibuat bertanya-tanya tentang komitmen negara dalam memudahkan ibadah haji untuk rakyatnya yang mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Padahal, setiap calon jemaah haji di awal pendaftaran sudah menyetorkan uang yang cukup banyak dengan nomor porsi antrian pemberangkatan yang relatif sangat lama. Hingga muncul pertanyaan, ke mana dana umat terkait dengan setoran biaya haji yang sudah terkumpul?

Berbagai pihak telah bersuara dalam memberikan berbagai pendapat terkait pengelolaan biaya haji. Dugaan penyelenggaran ibadah haji dijadikan sebagai ajang mencari keuntungan atau tempat bisnis telah menyebar di masyarakat. Sudah dipahami bahwa sistem kapitalisme telah mengajarkan, jika ada barang atau sesuatu yang bernilai manfaat, maka harus diusahakan semaksimal mungkin agar menghasilkan keuntungan.

Begitulah ketika sistem yang diterapkan, adalah sistem buatan manusia yang lebih mengedepankan hawa nafsu. Sifat tamak dan serakah yang dilakukan oleh sekelompok orang telah merugikan masyarakat luas, padahal ini menyangkut masalah ibadah.

Bisa dipastikan bahwa masalah mendasar pengelolaan dana haji hingga penyelenggaraan haji saat ini adalah pada keuntungan bisnis. Keuntungan ini berusaha diperoleh saat semakin meningkatnya keinginan umat Islam untuk menjalankan ibadah haji. Sebagai bagian rukun Islam, bisa dipastikan umat Islam akan berupaya semaksimal mungkin agar bisa menunaikannya.

Tercatat Indonesia sebelumnya telah menerima kuota haji 2023 sebesar 221 ribu dengan rincian jemaah haji reguler sebanyak 203.320 orang yang terdiri jemaah reguler murni 201.527 orang dan pendamping haji daerah sebanyak 1.543 dan 250 pembimbing. Sedangkan haji khusus sebanyak 17.680 orang sehingga total 221 ribu jemaah haji. Jemaah haji ini akan diberangkatkan dengan kloter sebanyak 820.

Dengan kuota haji yang sebanyak itu, akankah semua calon jemaah bisa melunasi pembayaran biaya haji jika mengalami lonjakan kenaikan hampir dua kali lipat? Padahal, masyarakat Indonesia saat ini sedang mengalami krisis ekonomi. Di tengah kesulitan ekonomi, negara seharusnya memfasilitasi rakyat agar lebih mudah beribadah.

Kenaikan biaya haji, akan menimbulkan dugaan telah terjadinya kapitalisasi ibadah. Negara dianggap mencari keuntungan dari dana haji umat. Seharusnya, tidak boleh menjadikan komersialisasi penyelenggaraan haji oleh pihak manapun. Negara memberikan jaminan kemudahan bagi umat Islam agar bisa menunaikan ibadah haji dengan berbagai fasilitas.

Ini sungguh berbeda dengan pengaturan ibadah haji di bawah naungan Khilafah. Khilafah dengan sistem Islam, sudah dipastikan hanya akan memberikan kesejahteraan bagi umat. Negara akan mempermudah rakyatnya dalam menunaikan ibadah haji dan memberikan berbagai fasilitas terbaik untuk para jemaah haji.

Terkait dengan biaya ibadah haji, ada aturan yang diberikan dan sangat meringankan calon jemaah haji. Ketika negara harus menetapkan ONH (ongkos naik haji), maka dipastikan besar dan kecilnya akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jemaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah-Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama perjalanan dari berangkat hingga kembali dari tanah suci Mekah.

Dalam penentuan besarnya ONH ini, negara Khilafah memakai paradigma kerja ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar yaitu mengurus urusan jamaah haji dan umrah. mengesampingkan paradigma bisnis, yang hanya berorientasi pada untung dan rugi. Sehingga bisa dipastikan, negara tidak akan menggunakan dana calon jamaah haji untuk bisnis, investasi, dan sebagainya.

Khilafah juga bisa membuka opsi perjalanan melalui rute darat, laut dan udara. Masing-masing rute yang dipilih dengan konsekuensi biaya yang  berbeda. Hal ini memberikan peluang bagi para jemaah, untuk memilih besarnya biaya haji sesuai dengan kemampuannya.

Sejarah telah mencatat, di masa Sultan ‘Abdul Hamid II,  Khilafah saat itu membangun sarana transportasi massal dari Istambul, Damaskus hingga Madinah untuk membawa jemaah haji. Bahkan sebelum Khilafah Utsmaniyah, juga telah dilakukan di masa Khalifah ‘Abbasiyyah, yaitu Harun ar-Rasyid, jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah) telah dibangun untuk memudahkan jemaah haji. Pada tiap titik dibangun pos layanan umum, yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi jemaah haji yang kehabisan bekal.

Inilah kalau sistem Islam yang dipakai dalam penyelenggaraan ibadah haji. Semua berjalan dengan lancar tanpa merugikan umat. Umat bisa menunaikan ibadah haji tanpa khawatir dengan fasilitas yang didapat. Perasaan was-was tidak bisa melunasi biaya haji pun tersingkirkan. Karena umat yakin, bahwa negara menjamin kemudahan bagi mereka yang mau beribadah kepada Allah SWT, Tuhan pemilik alam semesta.

Wallahu a’lam bisshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *