Pudarnya Wibawa Hukum dalam Penanganan Tragedi Kanjuruhan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Pudarnya Wibawa Hukum dalam Penanganan Tragedi Kanjuruhan

Ummu Faiha Hasna
(Pena Muslimah Cilacap)

Keadilan tanpa kebijaksanaan adalah mustahil. Hal ini karena keadilan itu bukan terletak dalam bunyi huruf undang-undang, melainkan dalam hati nurani hakim yang melaksanakannya. Oleh karenanya penting kiranya seorang hakim agar mempunyai kemampuan, yaitu mendengar dengan rasa hormat, menjawab dengan bijaksana dan mempertimbangkan dengan cermat serta memutuskan dengan adil.

Bagaimana dengan penanganan kasus tragedi kanjuruhan? Sudahkah keadilan hukum itu dirasakan?

Pada Desember 2022 lalu, dua tersangka Tragedi Kanjuruhan Malang yakni Panitia Pelaksana (Panpel) AAH dan Security Officer SS berharap segera dibebaskan dari tahanan. Mereka meminta itu karena Direktur Utama PT Liga Indonesia Bersatu (PT LIB) AHL yang juga tersangka sudah dibebaskan dari tahanan. AHL bebas karena berkasnya tidak kunjung dinyatakan lengkap oleh jaksa atau P19.Di saat yang sama, masa penahanan AHL di Polda Jatim sudah habis. (cnnindonesia.com, 24/12/2022)

Ketentuan ini mendapat reaksi dari keluarga korban tragedi Kanjuruhan. Mereka mendesak Presiden Jokowi mengeluarkan perppu yang isinya membentuk tim penyidik independen di luar Polri menyusul dibebaskannya tersangka AHL.

Tak hanya itu, melansir bbc.com, (23/12/2022) tujuh keluarga korban tragedi Kanjuruhan sudah melayangkan permohonan kepada sejumlah pihak mulai dari Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) hingga presiden Republik Indonesia atas perbuatan melawan hukum dengan tuntutan membayar ganti rugi sebesar enam puluh dua miliar rupiah. Permohonan perdata ini dilayangkan sebagai bagian “menagih pertanggungjawaban” sejumlah pihak dalam mengusut tuntas tragedi yang membinasakan seratus tiga puluh lima orang.

Pengurusan dalam penanganan tragedi Kanjuruhan membuktikan pudarnya wibawa hukum negara atas korban yang berjumlah sangat banyak. Lagi pula pembebasan tersangka karena berkas tidak kunjung lengkap kian menunjukkan tidak adanya nurani pada penegak hukum. Demikian pula profesionalisme aparat juga patut dipertanyakan.

Sejatinya, pangkal dari adanya ketidakadilan dan pudarnya wibawa hukum saat ini adalah penerapan sistem sekularisme demokrasi. Sistem ini yang membuat manusia memiliki kedaulatan untuk membuat hukum. Akar dari lahirnya sistem ini yakni dari paham sekularisme yang telah memisahkan agama dari kehidupan. Akibatnya di saat manusia membutuhkan peradilan untuk menyelesaikan permasalahan permasalahan mereka hukum akan berat sebelah. Sanksi hukumnya pun akan sangat longgar pada para pemilik kekuasaan sedangkan pada masyarakat sipil begitu tajam. Tidak ada ampun. Maka, wajar jika Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengkritik dan menilai bahwa bebasnya eks.Dirut PT. LIB, AHL menandakan ada yang tidak beres dalam penyidikan dan lambatnya proses penyidikan di Polda Jatim.

Begitulah yang terjadi bila sistem sanksi sekularisme yang diterapkan dalam kehidupan. Sampai kapan pun umat tidak akan berharap banyak di sistem saat ini, karena umat tidak akan pernah mendapatkan keadilan hukum. Hal ini tentu sangat berbeda dengan penegakkan hukum dalam Islam. Hukum yang berdasarkan al Quran dan hadits, landasannya jelas yakni akidah Islam.

Landasan yang benar berdasarkan dua pedoman ini akan mampu menjadikan proses pengadilan cepat, tidak berbelit dan profesional. Yang pasti menunjukkan rasa keadilan karena berpedoman pada hukum Allah Ta’ala. Salah satu buktinya adalah pada saat peristiwa baju besi Imam Ali bin Abi Thalib orang Yahudi dan seorang Qadhi atau hakim hanif bernama syuraih. Qadhi syuraih memutuskan baju besi yang ada di tangan Yahudi adalah milik orang Yahudi tersebut. Karena Imam Ali bin Abi Thalib tidak bisa menghadirkan saksi yang kuat, Qadhi Syuraih menilai sekalipun Imam Ali menghadirkan kesaksian putranya yang notabenenya adalah pemuda surga, namun sang Qadhi menilai saksi tersebut tidak kuat karena ada hubungan kekeluargaan. Setelah peradilan itu selesai orang Yahudi itu merasa kagum akibat keadilan hukum Islam.

Dari sini ada pelajaran bahwa untuk perkara sengketa baju besi saja hukum Islam mampu memberi keadilan yang begitu luar biasa. Ditambah lagi jika telah berurusan dengan nyawa manusia.

Nyawa seorang Muslim sangat mahal di sisi Allah bahkan kehancuran dunia jauh lebih ringan dibandingkan dengan hilangnya nyawa mukmin tanpa hak (pembunuhan seorang Muslim). (H.R an Nasa’i)

Maka dari itu, agar mencegah nyawa manusia tidak melayang tanpa hak, Islam memberikan sanksi yang keras, hukum qishas kepada pelaku pembunuhan. Sebagaimana firmannya dalam Quran Surat al Baqarah ayat 178. yang mewajibkan qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Selain itu, untuk membuktikan pihak atau seseorang tersebut melakukan pembunuhan, Islam memiliki sistem pembuktian (ahkam al Bayyinat) yang bersifat rinci. Bukti (bayyinat) adalah semua yang bisa membuktikan sebuah dakwaan. Bukti merupakan hujjah bagi orang yang mendakwa atas dakwaannya. Macam – macam bukti berupa pengakuan, sumpah, kesaksian dan dokumen -dokumen tertulis yang meyakinkan. Maka, ketika seseorang atau pihak tertentu telah terbukti melakukan pembunuhan, maka hukuman qishash bisa dilakukan.

Dalam peradilan sistem Islam jelas. Islam tidak mengenal hukuman banding, kasasi dan peninjauan kembali. Sehingga, sangat sulit melakukan kekeliruan dalam memutus perkara.

Syekh Abdurrahman al Maliki dalam kitabnya , Sistem Sanksi Islam menjelaskan qishash adalah hukuman balasan atas kasus pembunuhan. Qishash dapat ditegakkan bila ada tuntutan dari keluarga korban. Namun jika keluarga korban memaafkan pelaku pembunuhan dikenai diyat atau denda. Untuk pembunuhan seperti sengaja dikenai diyatnya sebesar 100 ekor unta, 40 ekor diantaranya adalah unta yang sudah bunting. Jika diyat itu dikonversi ke mata uang rupiah maka jumlahnya bisa mencapai miliaran rupiah. Seandainya hukum Islam diterapkan maka hukuman bagi pihak -pihak yang seharusnya bertanggung jawab dalam tragedi Kanjuruhan tidak akan berbelit dan lamban seperti saat ini.

Penerapan sanksi Islam ini hanya bisa dilakukan oleh negara yang menerapkan syariat Islam dalam mengatur kehidupan, yaitu bernama Khil4f4h. Ketika diterapkan khil4f4h akan memberi dua efek khas yakni sebagai jawabir atau penebus dosa pelaku dan zawabir atau pencegah. Dengan begitu, kehidupan masyarakat akan aman sentosa dan begitupun dengan nyawa manusia akan terjaga.

Wallahua’lam Bishshawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *