Peringatan Darurat! Kematian Demokrasi Tinggal Menunggu Waktu
Oleh: Emmy Harti Haryuni
Entah kosa kata apa lagi yang cocok untuk menggambarkan kekacauan para pejuang demokrasi. Apakah harus menunggu kehidupan kita hancur lebur dahulu, baru kemudian kita percaya tentang kebohongan demokrasi. Saat ini saja segala aspek kehidupan sudah hancur. Segala macam dosa sudah dilakukan banyak manusia di muka bumi ini. Astaghfirullah!
Sepak terjang para politisi di jurang demokrasi tampak jelas semakin kacau balau. Mereka yang pada pemilu periode sebelumnya mati-matian berkorban jiwa dan raga untuk memenangkan salah satu capres. Hingga melantunkan doa bersama yang viral karena ada sebuah teks yang memunculkan kontroversi “Karena jika engkau tidak menangkan kami, kami khawatir ya Allah, tak ada lagi yang menyembahmu”.
Bayangkan, demi meraih suara terbanyak dalam perhelatan pesta demokrasi. Demi kemenangan salah satu capres sampai terkesan mengancam Allah. Seakan-akan berkata bila capres yang diusung kalah, maka tak ada lagi yang mau menyembah Allah. Sungguh miris, pertarungan dalam gelanggang demokrasi dianggap sama dengan saat Rasulullah SAW berjihad di medan perang badar.
Bukan hanya itu saja, mereka juga menyeru kaum muslimin untuk mengeluarkan hartanya demi perjuangan memenangkan Capres yang diusungnya. Hingga berkata itulah jihad saat mengorbankan tenaga, pikiran, nyawa, dan harta untuk perjuangan mengganti presiden. Juga himbauan untuk melangitkan doa siang dan malam agar lawan politiknya mengalami kekalahan. Sehingga capres dukungannya bisa meraih kursi kekuasaan.
Sebegitu bobroknyakah logika para pejuang demokrasi. Bukankah seharusnya melangitkan doa untuk kebaikan negeri ini agar bisa segera keluar dari berbagai permasalahan yang menghimpit. Doa agar wahyu Illahi bisa segera membumi di jagad alam raya ini. Agar keberkahan langit dan bumi bisa terbuka lebar.
Padahal sebenarnya dari pengalaman yang telah terjadi semenjak dahulu kala di negeri-negeri, demokrasi must die. Persis seperti pernyataan Presiden kedua Amerika Serikat “Demokrasi tidak pernah berlangsung lama. Dia segera menjadi limbah, kehabisan energi, dan membunuh dirinya sendiri. Tidak pernah ada demokrasi yang tidak melakukan bunuh diri.” (John Adams)
Duhai mahasiswa, pemuda, politisi, dan para pejuang demokrasi. Sesungguhnya jangan sampai mati konyol untuk membela dan mempertahankan demokrasi yang nyata-nyata tidak bisa memberikan keadilan dan kemakmuran. Karena demokrasi pasti akan dibela dan dipertahankan oleh para penjajah kapitalis. Sejatinya melalui demokrasi inilah mereka melanjutkan hegemoni kekuasaannya. Melestarikan penjajahan untuk mengeksploitasi kekayaan alam di negeri-negeri kaum muslimin.
Demokrasi sejatinya bukan hanya alat penjajahan untuk mereka berkuasa. Para penguasa yang berkuasa itu adalah hasil ternak dari para oligarki yang merupakan penguasa sesungguhnya. Dengan kata lain, demokrasi merupakan ranjang perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha. Maka tak heran korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah salah anak-anak haramnya.
Sesuatu hal yang aneh, bila fakta rusak yang terjadi di gelanggang demokrasi malah meneguhkan keyakinan dan kemilitanan mahasiswa untuk makin memperjuangkan demokrasi. Bukankah sudah jelas-jelas amburadul, kenapa masih saja terus berjuang mempertahankan hal yang menghancurkan kehidupan ini. Kini bukan lagi demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tapi dari oligarki, oleh oligarki, dan untuk oligarki.
Apakah tidak cukup fakta keruntuhan keluarga yang marak terjadi. Dari mulai KDRT, perselingkuhan, perceraian, anak-anak terlantar, perkawinan beda agama, perkawinan sesama jenis, hingga kerusakan pada generasi atau anak. Buah dari paham kebebasan yang dihasilkan demokrasi. Kebebasan berpendapat, kebebasan berperilaku, kebebasan kepemilikan, dan kebebasan beragama.
Begitu juga lahirnya banyak peraturan perundangan-undangan yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat. Seperti Undang-undang Migas, Undang-undang Minerba, Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law, Undang-undang IKN, dan lain sebagainya. Itu semua merupakan produk hukum pesanan para oligarki.
Begitu juga dengan Undang-undang Pemilu atau Pilkada yang dirancang demi menciptakan para penguasa dan wakil rakyat yang bisa diajak kongkalikong dengan pengusaha ketimbang melayani urusan rakyat. Lalu di mana letak hatimu para politisi di alam demokrasi? Hingga mata hati tertutup ambisi uang dan kekuasaan.
Dibantainya kaum muslimin Palestina, Suriah, Rohingya, Kashmir, Uyghur, Irak, Bosnia, dan di berbagai tempat lainnya juga akibat dari kejahatan demokrasi. Karena memang demokrasi adalah alat penjajah untuk mengokohkan penjajahan mereka. Baik menjajah sumber daya manusia maupun sumber daya alam.
Demokrasi Rusak dan Merusak
Sunatullahnya sebuah kebathilan hancur karena menentang Sang Maha Kuasa pencipta alam semesta. Sesuatu yang bathil akan hancur karena akibat yang ditimbulkan rusak dan merusak. Begitu pula dengan demokrasi, kehancurannya tinggal menunggu waktu. Bagaimana tidak, mengambil demokrasi berarti menampakkan kepongahan dan keangkuhan di hadapan penguasa alam semesta dengan membuat hukum sendiri.
Lihatlah negara-negara yang terkenal paling demokratis. Mereka adalah negara-negara yang realitasnya sangat mengenaskan karena diambang kepunahan dan kehancuran. Utang negara yang membumbung tinggi, pergaulan bebas yang hancur-hancuran, korupsi, institusi keluarga yang dihinakan, agama yang jauh dari kehidupan, pengangguran yang tinggi, narkoba, penyimpangan seksual, miras, dan segala kemaksiatan lainnya.
Oleh karena itu tidak ada pilihan lain kecuali meninggalkan demokrasi sejauh-jauhnya, karena:
Pertama, demokrasi sejatinya berasal dari rahim sekularisme yang menolak otoritas Sang Khaliq sebagai pengatur kehidupan. Dengan kata lain fashluddin’anilhayah atau memisahkan Dien/agama dari kehidupan umat manusia. Allah dianggap hanya menciptakan makhluk. Setelah itu pensiun, tidak lagi berhak mengatur kehidupan makhluk-Nya.
Dari alasan pertama saja sudah jelas bahwa demokrasi berasal dari sebuah asas yang salah. Sebagai bukti keimanan dan loyalitas kita pada Allah dan Rasul-Nya. Seharusnya hanya mengambil aturan Allah sebagai sumber pengatur kehidupan kita.
Kedua, slogan kedaulatan di tangan rakyat sebagai pembuat hukum. Pada realitasnya adalah sebuah kedustaan. Tidak mungkin dan pada praktiknya adalah sesuatu yang imposible. Apapun itu, inilah pertentangan besar demokrasi pada Syariat-Nya.
Sesungguhnya kedaulatan hukum di dunia ini ada di tangan syara’. Sesuatu yang menantang Allah dan Rasul-Nya, hanya akan berakhir tragis. Kemusnahan adalah hal yang pasti dan tinggal menunggu waktu.
Ketiga, Demokrasi melahirkan kebebasan yang merupakah sumber kekacauan dan kehancuran segala tatanan kehidupan umat manusia. Kebebasan berpendapat, berekspresi atau berperilaku, kebebasan kepemilikan, dan kebebasan beragama adalah sumber kekacauan hidup hari ini.
Manusia jadi bebas menistakan ajaran Islam. Bebas memfitnah dan mempropagandakan buruk tentang Islam dengan dalih kebebasan berpendapat. Maka tak heran penghinaan kepada Nabi Muhammad SAW terus terjadi tanpa hukuman dan sanksi. Munculnya banyak aliran sesat yang mengada-ngada juga akibat dari demokrasi.
Begitu juga dengan kebebasan berperilaku atau berekspresi menjadi biang kerok dari terjadinya penyimpangan seksual dan pergaulan bebas, pornografi dan pornoaksi yang menjadi pangkal kriminalitas. Membuat sesama muslim tidak bisa saling menasehati dengan dalih kebebasan berekspresi.
Dalam sistem demokrasi pula orang bebas memiliki aset kekayaan yang itu adalah kepemilikan umum. Sehingga jurang kesenjangan miskin dan kaya menjadi sangat lebar. Atas nama kebebasan kepemilikan pula para penjajah asing bebas menguasai kekayaan alam negeri-negeri muslim. Sehingga keadilan tidak mungkin diperoleh dalam sistem demokras.
Begitu mudah dan murahnya seorang muslim keluar dari Islam menjadi murtad atas nama kebebasan beragama. Seorang ibu muslim, ayah nasrani, anak budha dalam satu keluarga menjadi hal yang lazim dalam alam demokrasi. Hidup tanpa pegangan ajaran agama membuat kehidupan menjadi rapuh, maka tak heran kemaksiatan banyak terjadi.
Allah SWT berfirman:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Kemudian Kami menjadikan kamu berada di atas syariah (peraturan) dari urusan (agama) itu. Karena itu ikutilah syariah itu dan jangan kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (QS al-Jatsiyah [45]: 18).
Juga firman Allah SWT:
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia adalah Pemberi keputusan yang paling baik (TQS al-An’am [6]: 57).
Laa izzata illa bil islam
Wa laa islama illa bis-syari’ah
Wa laa syari’atan illa bi daulah.
Wallahu’alambishshowab