PENEMUAN JASAD TANPA IDENTITAS, KESELAMATAN WANITA BUKAN PRIORITAS

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

PENEMUAN JASAD TANPA IDENTITAS, KESELAMATAN WANITA BUKAN PRIORITAS

Oleh : Arlita Aprilya, ST.

Beberapa hari yang lalu, sesosok mayat perempuan tanpa identitas ditemukan oleh warga di Jalan Trans Sulawesi, Pongcancalili, Dusun Sampuraga, Desa Kasintuwu, Kecamatan Mangkutana, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, pada Rabu pagi (13/11/2024). Mayat tersebut berkulit putih, bertubuh gemuk, dengan tinggi sekitar 162 cm, dan memiliki rambut lurus berwarna pirang. Korban mengenakan kaos hitam bertuliskan ‘Buefruy’, celana kain hitam, serta sandal berwarna cokelat.

Adapun lokasi penemuan mayat berada di area pegunungan, yang cukup terpencil, jauh dari pemukiman warga. (Tribun-Timur.com, 13/11/24)

Belakangan diketahui identitas dari jasad wanita yang ditemukan tersebut bernama Jessica Sollu, yang akrab disapa Chika atau Jeje, korban adalah Alumni Elektro 2019 yang bekerja di Pabrik Baterai PT IMIP Morowali.

Sumber menyebutkan bahwa, korban berangkat dari kota Palopo sejak senin malam, tanggal 11 November 2024, korban awalnya mengendarai mobil Avanza, namun ditengah perjalanan korban dipindahkan ke mobil jenis Wuling warna silver. (Batarapos.com, 13/11/24)

Polisi mengungkap penyebab kematian Jessica Sollu alias Chika adalah akibat kekerasan. Namun belum bisa diungkapkan lebih jauh soal kekerasan seperti apa yang dialami korban sebelum tewas. Sebab, timnya tengah menunggu hasil autopsi jasad korban dari dokter forensik Polda Sulsel. (Detiknews.com, 19/11/24)

*PIL PAHIT BAGI KAUM WANITA DALAM BELENGGU KAPITALISME*

Demikianlah fakta yang kerap terjadi di sekeliling kita. Berada dalam naungan sistem pemerintahan sekuler-kapitalis hari ini, kasus kekerasan terhadap kaum wanita terjadi dimana-mana, dengan faktor pencetus yang beragam, terlebih lagi saat berada di luar rumah. Jaminan keamanan dan keselamatan bagi wanita saat bepergian bukanlah menjadi perhatian khusus pemerintah, melainkan diserahkan kembali untuk menjadi urusan pribadi masing-masing rakyat.

Ditambah lagi dengan hembusan ide-ide kesetaraan gender dari kaum feminis yang selalu menganggap bahwa perempuan harus setara, bahkan bisa lebih hebat daripada laki-laki. Akibatnya, tidak sedikit wanita yang menelan mentah-mentah ide ini pun langsung sepakat bahwa kemandirian dalam melakukan segala sesuatu adalah suatu keharusan. Dan terkadang mereka merasa lebih percaya diri ketika mampu membuktikannya.

Disamping itu, tidak adanya ruang khusus saat berada di tempat umum membuat aktivitas cenderung bercampur baur dengan lelaki yang bukan mahrom (ikhtilat). Hal ini tak pelak seringkali membawa para wanita menjadi sasaran empuk bagi para pelaku kriminal yang hanya membutuhkan kesempatan saja untuk melancarkan kejahatannya.

Dalam hal ini, pemerintah cenderung abai dalam mempersiapkan tindakan-tindakan preventif untuk setiap potensi kejahatan. Seringkali para petugas keamanan baru akan bereaksi ketika kriminalitas sudah terjadi dan memakan korban. Disamping itu, hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku kriminal pun terkadang tidak sesuai dengan kerugian yang diderita oleh korban dan keluarganya, sehingga tidak memberikan efek jera.

Tidak sedikit kasus kekerasan pada wanita berujung pembebasan Si pelaku dari jeratan hukum, karena adanya kongkalikong dari keluarga pelaku dengan oknum-oknum penegak hukum yang berlaku culas.

ISLAM MELINDUNGI DAN MEMULIAKAN KAUM WANITA

Dalam Islam, kedudukan wanita tidak sama dengan pria. Karena Islam sangat memuliakan dan menjaga kehormatan para wanita, serta menjamin keselamatan mereka melalui penerapan syariat.

Setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas tiap-tiap warga yang diriayahnya. Sebagaimana wanita adalah bagian dari masyarakat, maka kewajiban bagi seorang pemimpin untuk melindungi hak-hak mereka.

Adapun aturan yang diterapkan untuk melindungi kaum wanita adalah tidak diperbolehkannya bepergian seorang diri melainkan ditemani oleh mahromnya. Dan mahrom adalah lelaki yang mempunyai hubungan nasab dengan Si Wanita, seperti ayah, saudara laki-laki, anak laki-laki, paman dari ayah atau ibu, dan jika ia sudah menikah maka menjadi tanggung jawab suaminya termasuk mertuanya.

Salah satu sumber dalil yang menjadi rujukannya adalah hadits dari Abu Hurairah RA. Rasulullah SAW bersabda,

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَوْمِ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

Artinya: “Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir melaksanakan safar (perjalanan) berjarak satu hari perjalanan melainkan dengan seorang mahram.” (HR Muslim)

Dalam riwayat lainnya Rasulullah SAW menyebutkan hal serupa,

لَا تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَم وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولُ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِي جَيْشِ كَذَا وَكَذَا وَامْرَأَتِي تُرِيدُ الْحَجِّ فَقَالَ اخْرُجْ مَعَهَا

Artinya: “Tidaklah dibenarkan bagi seorang perempuan untuk melakukan safar kecuali bersama mahramnya, dan tidak pula dibenarkan bagi seorang laki-laki untuk masuk menemui seorang perempuan melainkan jika mahramnya bersama perempuan itu. Seorang laki-laki bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya ingin keluar berjihad bersama pasukan demikian dan demikian tetapi istriku ingin pula melaksanakan haji.’ Rasulullah menjawab, ‘Kalau demikian, temanilah istrimu itu’.” (HR Bukhari)

Adanya larangan tersebut ditujukan untuk melindungi kaum wanita dari berbagai gangguan yang mungkin terjadi, serta menjaga keamanan mereka, baik kehormatannya, keimanannya, barang-barangnya, serta keselamatan diri dan jiwanya. Dan keberadaan mahrom yang menyertai dalam perjalanan dianggap dapat memberikan rasa aman bagi wanita.

Disamping itu, upaya lain yang wajib dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah kriminalitas adalah menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan agar setiap warga negara dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan hasil kerja yang baik dan halal, sehingga tidak ada lagi niat untuk melakukan kezhaliman terhadap orang lain demi urusan perut, atau kebutuhan pokok lainnya.

Kewajiban lain bagi pemimpin Islam untuk melindungi rakyatnya adalah dengan menjatuhkan hukuman atau sanksi yang berat atas segala tindakan kejahatan terhadap orang lain yang tidak bersalah, sesuai dengan ketentuan syara’. Dalam kasus pembunuhan, sanksi yang dijatuhkan adalah _qishash_ yakni pembalasan dengan hukuman yang sama, yang
dijatuhkan kepada pelaku.

Melalui _qishash_ keadilan bagi korban ataupun keluarganya dapat terwujud dengan membalas perbuatan pelaku sebagaimana yang telah ia lakukan terhadap korban. Keadilan merupakan salah satu sifat Allah yang Maha Sempurna. Oleh karena itu, Allah melarang segala bentuk kezhaliman, baik terhadapNya maupun hamba-hambaNya

Sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Isra ayat 33 yang berbunyi:

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُوْمًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهٖ سُلْطٰنًا فَلَا يُسْرِفْ فِّى الْقَتْلِۗ اِنَّهٗ كَانَ مَنْصُوْرًا

Artinya: “Dan janganlah kamu mengambil nyawa seseorang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan alasan yang benar. Jika seseorang dibunuh secara zalim, Kami memberikan hak kepada walinya (untuk meminta qishash), namun walinya tidak boleh melampaui batas dalam membalas pembunuhan. Sesungguhnya, dia akan mendapat pertolongan (hukum dan keadilan).”

Disamping ketegasan dalam pelaksanaan _qishash_ terdapat pula kelenturan hukum dibaliknya, yakni adanya peluang negosiasi antara keluarga korban dengan keluarga pelaku pembunuhan. Keluarga korban akan diberi pilihan untuk menuntut balas dengan nyawa, atau membayar denda (diyat) yang nilainya tidak sedikit, ataupun memaafkan pelaku tanpa syarat. Hal ini dilakukan demi memperoleh keadilan di antara keduanya, sebagaimana fiman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 178 :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِصَاصُ فِى ٱلْقَتْلَى ۖ ٱلْحُرُّ بِٱلْحُرِّ وَٱلْعَبْدُ بِٱلْعَبْدِ وَٱلْأُنثَىٰ بِٱلْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِىَ لَهُۥ مِنْ أَخِيهِ شَىْءٌ فَٱتِّبَاعٌۢ بِٱلْمَعْرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَٰنٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ ٱعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian hukuman qishash terhadap orang-orang yang dibunuh: orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Oleh karena itu, barangsiapa yang mendapat pengampunan dari saudaranya, hendaklah dia (yang memberi maaf) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang mendapat pengampunan membayar (diyat) kepada yang memberi pengampunan dengan cara yang baik pula. Itu adalah kemudahan dari Tuhanmu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”

Dengan adanya penerapan sanksi yang sesuai dengan syariat ini akan berfungsi sebagai _zawajir_ yang memberikan efek jera bagi pelaku dan mencegah orang lain melakukan hal yang sama, dan _jawabir_ , yakni sebagai penebusan dosa di dunia.

Demikianlah gambaran penerapan aturan berdasarkan syariat Islam. Demikian pula gambaran seorang pemimpin dalam pemerintahan Islam. Dia akan dengan tegas menerapkan semua aturan demi menjaga hak-hak warganya, dan tidak ragu-ragu untuk menjatuhkan hukuman yang keras kepada yang melanggar aturan. Dan hal ini diberlakukan bagi semua warga negara tanpa melihat lagi apakah mereka muslim ataupun non-muslim, semua diperlakukan sama di mata negara.

 

Wallahu’alam bish-shawwab

Hanya saja bentuk aturan dan ketegasan pemimpin tersebut tidak akan pernah ditemukan dalam sistem pemerintahan sekuler-kapitalis seperti saat ini, melainkan hanya ada dalam sistem yang melaksanakan pemerintahan berdasarkan syariat saja, yakni Daulah Islam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *