Normalisasi Miras di Yogyakarta, Umat Islam Jangan Lengah
Fida Hafiyyan Nudiya, S. Pt
(Pemerhati Sosial)
Peredaran miras di kota pelajar semakin meresahkan. Akhir-akhir ini merebak outlet-outlet miras, salah satunya yang sedang viral dan berpusat di jl. Affandi (Caturtunggal, Depok, Sleman) dan memiliki cabang di seluruh DIY dan Jawa Tengah. Mirisnya toko-toko miras tersebut berada di dekat rumah-rumah kaum muslimin, dekat dengan masjid dan sekolah-sekolah.
Beberapa waktu lalu, ketika soft opening di Sleman terjadi penolakan oleh warga. Lalu mereka membagi-bagikan soto gratis. Begitu pula ketika soft opening di Prawirotaman, pihak Outlet 23 membagi-bagikan sembako kepada tukang becak dan warga sekitar. Rupanya mereka belajar dari kejadian sebelumnya agar tidak terjadi penolakan dari warga. Yang menarik, demi menarik simpatik masyarakat yang mayoritas muslim, mereka menerapkan jam tutup sementara saat shalat jum’at dan membuka soft opening di Wonosari dengan membaca basmalah. Islami sekali bukan, jika demikian ‘mulianya’, akankah miras menjadi halal?
Dalam sistem Kapitalisme regulasi yang ada saat ini hanya pengaturan miras, bukan pelarangan miras. Razia, pemusnahan miras dan penyegelan toko hanya dilakukan kepada produk atau toko ilegal. Jika produk atau toko memiliki izin resmi, tidak jadi masalah. Ini disebabkan standar kebijakan dalam sistem demokrasi bukan halal dan haram, melainkan orientasi materi, kepentingan bisnis yang disuburkan dengan paradigma kebebasan gaya hidup. Pihak-pihak yang menjadi backing dari legalisasi peredaran miras ini pun tentu mendapat cuan yang tidak sedikit, siapapun yang menempuh jalur hukum untuk menghentikan peredaran miras saat ini tidak akan bisa.
Sebagai contoh, realisasi penerimaan cukai minuman beralkohol sampai Desember 2023 sudah terkumpul Rp 8,1 triliun disetor ke kas negara (Kontan TV). Studi WHO pada 2017 menunjukan bahwa pajak yang meningkatkan harga alkohol sebesar 50 persen membantu menghasilkan pendapatan tambahan sebesar hampir 17 triliun US dolar, jumlah ini setara dengan total pendapatan pemerintah dari 8 negara dengan perekonomian terbesar di dunia dalam satu tahun. Pantas saja, negara rela memberikan payung hukum peredaran miras.
Dalam Islam, minuman keras adalah ‘ummul jaraim’ (induk dari kemaksiatan). Sedikit atau banyak kadar alkoholnya tetaplah haram, masyarakat tidak boleh memperjualbelikan apapun alasannya. Menempuh jalur hukum saat ini sangatlah sulit, namun perjuangan ummat Islam yang untuk menolaknya akan menghadang bahaya besar yang ditimbulkan darinya. Maka ummat Islam jangan lelah dan lengah untuk menentang peredaran miras ini, bersatu bergerak tegakan dinullah dalam bingkai Daulah Khilafah Islam, yang akan menerapkan sistem Islam secara kaffah.
Wallahu A’lam bish-Shawwab