Menanti Kepastian Relokasi di Pengungsian yang Masih Terkantung – kantung

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Menanti Kepastian Relokasi di Pengungsian yang Masih Terkantung – kantung

 

Oleh Ummu Faiha Has

(Pena Muslimah Cilacap

 

Nelangsa, setelah satu bulan  gempa bumi berkekuatan 5,6 mengguncang Cianjur, Jawa Barat, sejumlah warga masih bertahan di tenda-tenda pengungsian, menanti kepastian untuk memulai kehidupan normal seperti dulu.Sebagaimana dikutip dari bbc.com, 22/12/22, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan,lebih 8.300 warga telah menerima dana stimulan tahap pertama untuk membenahi rumah mereka.Namun di Desa Cibeureum ini masih ada warga yang belum menerima dana perbaikan rumah karena proses data tidak akurat dan harus diulang. Selain itu, warga masih menanti kepastian apakah mereka akan direlokasi ataukah tidak.

Sebelumnya pemerintah menjanjikan bantuan sebesar enam puluh juta rupiah untuk rumah rusak berat. Namun, pada proses verifikasi ditemukan data yang tidak sesuai dengan kondisi riil rumah yang rusak. Oleh sebab itu, masyarakat pun meminta melakukan verifikasi ulang. Akibatnya mayoritas warga Cibeureum masih bertahan di tenda – tenda pengungsian termasuk balita dan anak-anak, beberapa pengungsi juga mengalami demam, batuk serta gatal-gatal.

Ini menunjukkan adanya ketidakoptimalan dalam meriayah, mengurusi korban gempa apalagi persoalan utama adalah rumah tinggal. Seharusnya negara bergerak cepat menyelesaikannya mengingat Cianjur adalah sesar gempa. Sebab, penguasa adalah pihak yang paling bertanggungjawab dalam pencegahan dan penanggulangan segala sesuatu yang berbahaya bagi masyarakat.

Sistem kehidupan sekuler hanya mencetak pemerintah terbiasa melakukan kelalaian. Kelalain ini sudah menjadi karakter dan sifat bawaan rezim sistem sekuler. Karakter buruk ini seakan tidak dapat dipisahkan dan cacat bawaan aturan sekuler yang diterapkan.

Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menegaskan

“Imam atau khalifah yang menjadi pemimpin manusia adalah adalah laksana penggembala dan hanya dia-lah yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya”. (H.R. Bukhari)

Penanganan bencana alam mengharuskan adanya manajemen bencana yang jitu, merujuk pada manajemen bencana dalam sistem Islam akan ditemukan penanganan pra bencana, ketika bencana dan sesudah bencana. Ilustrasi sederhana penanganan bencana yang dilakukan  negara Islam dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar Bin Khattab radhiyallahu anhu ketika menangani masa paceklik yang menimpa jazirah Arab, Pusat pemerintahan negara Islam untuk meminta bantuan pangan. Khalifah Umar segera membentuk Tim yang terdiri dari beberapa orang sahabat seperti Yazid bin Ukhtiranamur, Abdurrahman bin al Qari, Miswan bin Makhramah, Abdullah bin Utbah dan Mas’ud ra.

Setiap hari sempat sahabat yang mulia ini melaporkan sebuah kegiatan mereka kepada Umar bin Khattab sekaligus merancang apa yang dilakukan esok harinya.Khalifah Umar menempatkan mereka di perbatasan kota Madinah dan memerintahkan mereka untuk menghitung orang -orang yang memasuki kota Madinah. Jumlah pengungsi yang mereka catat terus meningkat. Pada suatu hari jumlah orang yang makan di rumah Khalifah berjumlah sepuluh ribu orang sedangkan orang yang tidak hadir di rumahnya diperkirakan berjumlah lima puluh ribu orang. Pengungsi – pengungsi tersebut mendapatkan pelayanan yang terbaik dari Khalifah. Saat situasi telah kondusif, para pengungsi tersebut kembali ke tempat mereka seraya dibekali dengan kebutuhan yang mereka perlukan di masa awal kembali ke daerah.

Disinilah, begitu besarnya tanggung jawab seorang pemimpin terhadap rakyatnya. Negara yang menerapkan aturan Islam, benar – benar menjalankan fungsinya sebagai pengurus dan pelayan rakyatnya. Negara mengerahkan segala potensi untuk mengurus rakyat yang terkena bencana, di dalam Anggaran dan  Pendapatan Belanja Negara, terdapat pos pengeluaran yang dikhususkan untuk penanganan bencana.

Dalam Pos Bencana ini mencakup pembiayaan segala bencana yang menimpa rakyat, seperti gempa, kelaparan dan sebagainya. Sumber dananya berasal dari pos fa’i, kharaj dan pos kepemilikan umum. Jika anggaran tersebut tidak mencukupi dalam arti negara mengalami defisit, maka kekurangannya diambil dari kaum Muslim melalui pungutan pajak.

Hal ini diperbolehkan sebab, syariat telah memerintahkan kaum Muslim untuk memberi makan orang yang kelaparan,menolong orang yang kesulitan, dan menyelamatkan orang dari bahaya. Hanya saja pajak ini dipungut dari orang Muslim yang kaya saja.

Penanganan bencana membutuhkan penanganan yang cepat, sehingga negara dituntut untuk mengumpulkan dana dari Kaum Muslim dengan segera.Namun, jika dikhawatirkan terjadi dampak buruk karena harus menunggu penarikan pajak tadi, maka terlebih dahulu negara dapat mencari pinjaman. Setelah itu utang tersebut dilunasi dari pajak yang dipungut dari kaum Muslim.

Wallahu A’lam bishshawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *