Liberalisasi Kesehatan dan RUU Kesehatan
Oleh : Vina Meilany
Aktivis Muslimah dan Pendidik Generasi
Di Indonesia persoalan kesehatan masih banyak tetapi RUU Kesehatan tidak menawarkan solusi untuk pelayanan yang berkualitas dan mudah bagi rakyat yang justru merugikan kepentingan rakyat.
IDI meminta Pembahasan RUU Kesehatan Dihentikan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia meminta agar pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesehatan dihentikan. Salah satu poin yang dipermasalahkan dalam RUU itu adalah perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan dan tenaga medis yang dinilai belum terjamin. PB IDI meminta agar penolakan berbagai pihak terhadap RUU ini diperhatikan secara serius oleh pemerintah. (kompas.com, 9/4/2023)
”Seorang dokter yang melakukan sebuah pelayanan kesehatan menyelamatkan nyawa maka harus memiliki hak imunitas yang dilindungi undang-undang. Di sinilah peran organisasi profesi sebagai penjaga profesi untuk memberi perlindungan hukum. Namun, peranan organisasi profesi dihilangkan,” kata Ketua Umum PB IDI Moh Adib Khumaidi melalui siaran pers.
Melalui RUU kesehatan ini, pemerintah akan mempermudah dokter asing maupun diaspora untuk praktik di dalam negeri. Pemerintah merencanakan program ini dengan alasan agar rakyat tidak lagi berobat ke luar negeri. Sehingga dengan hal ini akan menguntungkan Indonesia dengan terjaganya devisa negara. Masuknya dokter asing ke Indonesia akan memiliki aturan yang kuat melalui RUU kesehatan.
Dengan kebijakan ini sejatinya pemerintah gagal mencetak SDM di bidang kesehatan seperti dokter ahli yang berkualitas dan memadai. Padahal negeri ini tidak kekurangan SDM lulusan pendidikan kesehatan.
Jika pemerintah fokus memberikan pendidikan berkualitas dan fasilitas yang terbaik pula maka mereka akan berdaya di negeri ini, negara tidak perlu membuka peluang bagi dokter asing bekerja di negeri ini. Karena hal tersebut hanya akan menambah besar persaingan tenaga kerja di negeri ini, yang berujung pada bertambahnya jumlah pengangguran. Namun hal tersebut tidak menjadi pilihan. Sebab kesehatan dalam perspektif negara yang menerapkan kapitalis sekuler adalah jasa yang diperjual belikan.
Negara akan menghitung untung rugi ketika membuat kebijakan. Tak heran RUU kesehatan ini menjadi sarat dengan upaya meliberalisasi dan mengkapitalisasi kesehatan. Sebenarnya di Indonesia masih banyak persoalan, RUU kesehatan tidak menawarkan solusi yang menyentuh akar persoalan. RUU kesehatan tidak menawarkan upaya mewujudkan pelayanan yang berkualitas dan mudah bagi rakyat. Tetapi merugikan kepentingan rakyat termasuk para tenaga kesehatan.
Dalam sistem kapitalis mereka lebih mementingkan asing dari pada rakyatnya, dokter lokal pun mereka perlahan ingin menggantinya. Inilah fakta buruknya pengurusan urusan rakyat di bawah penerapan sistem kapitalisme sekulerisme.
Berbeda dengan Islam, kehadiran penguasa/pemimpin dalam Islam sebagai pelaksanaan syariah secara kaffah adalah untuk menjamin pelayanan kesehatan terbaik bagi seluruh warga negaranya. Muslim atau non-muslim, kaya atau miskin, sebab kesehatan adalah kebutuhan pokok publik yang menjadi tanggung jawab negara.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya,
“Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR. Bukhari).
Sehingga apapun alasannya, tidak dibenarkan dalam Islam ada program yang bertujuan untuk memperjual belikan pelayanan kesehatan, baik dalam bentuk investasi atau menarik bayaran kepada rakyat untuk mendapatkan untung.
Sebagai pelayan rakyat, negara bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya terhadap ketersediaan fasilitas kesehatan. Baik dari segi jumlah, kualitas terbaik dengan para dokter ahli, obat-obatan dan peralatan kedokteran yang dibutuhkan, serta sebarannya ke pelosok negeri. Negara wajib mengelolanya secara langsung di atas prinsip pelayanan. Sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW sebagai penanggung jawab dan pengatur langsung kemaslahatan umat. Termasuk masalah pelayanan kesehatan, pembiayaan seluruh pelayanan kesehatan dalam Islam tidak akan membebani publik dan rumah sakit sepeser pun. Pembiayaan pelayanan kesehatan tersebut diambil dari Baitul Mal yang jumlahnya sangat besar karena diatur oleh sistem ekonomi Islam.
Demikian pembiayaan untuk pendidikan calon dokter sehingga tersedianya dokter umum dan ahli yang memadai, juga lembaga riset, labolatorium, industri farmasi dan biaya apa saja yang dibutuhkan bagi terjaminnya pelayanan kesehatan gratis, berkualitas terbaik, mudah diakses oleh siapa pun, kapan pun dan dimana pun.
Para dokter bahkan memiliki ruang yang memadai untuk mendedikasikan keahlian bagi kesembuhan dan keselamatan jiwa masyarakat. Tidak akan ada lagi beban agenda kesehatan dan persaingan dengan dokter-dokter asing. Karena negara akan mendahulukan pemanfaatan SDM dalam negeri.
Inilah fakta jaminan kesehatan dalam Islam, buah dari penerapan syariat Islam kaffah yang bersumber dari Allah Ta’ala.
Wallahu’alam bishshawaab.