Kenaikan Tarif PPN, Pemalakan Berkedok Penyelamatan Anggaran

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Kenaikan Tarif PPN, Pemalakan Berkedok Penyelamatan Anggaran

Oleh Irma Faryanti
Pegiat Literasi

Dan akhirnya, wacana pun menjadi nyata. Pemerintah memutuskan akan tetap menaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun 2025 mendatang. Padahal kebijakan tersebut mendapat kritik dari berbagai pihak, karena dinilai dapat menekan daya beli masyarakat dan mengganggu roda ekonomi dunia yang saat ini tengah lesu.

Kenaikan PPN dari 11 menjadi 12 persen ini tertuang dalam UU no 7 tahun 2021, tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang akan diberlakukan pada 1 Januari 2025 mendatang. Keputusan ini dianggap dibutuhkan untuk menjaga kesehatan APBN yang kondisi penerimaannya menurun akibat kondisi global yang tidak pasti. Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Sarman Simanjorang menyatakan bahwa kebijakan menaikkan PPN tidak akan menjadi masalah jika kondisi ekonomi tengah normal, kondusif dan produktif. Namun faktanya situasi perekonomian sedang tidak menentu. (KOMPAS, 14 November 2024)

Sarman meminta pemerintah menunda kenaikan tersebut hingga kondisi perekonomian lebih kondusif. Karena lesunya daya beli masyarakat berdampak pada turunnya permintaan dan penjualan berbagai sektor. Jika dipaksakan maka akan menjadi tantangan bagi dunia usaha karena harga produksi, barang dan jasa pun otomatis naik, sementara daya beli konsumen rendah. Pernyataan serupa diungkapkan Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Hariyadi Sukamdani yang juga menyatakan bahwa saat ini bukan momentum tepat untuk menaikkan tarif PPN.

Alih-alih menanggapi berbagai kritikan, Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan justru menegaskan bahwa kenaikan tarif inj tahun depan akan tetap diberlakukan. Sebagaimana diketahui bersama, PPN merupakan salah satu andalan pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan pajak yang dikenakan pada setiap tahap produksi dan distribusi barang atau jasa yang dikonsumsi di dalam negeri. Dalam hal ini, konsumen lah yang menjadi objeknya sementara produsen/penjual bertindak sebagai pemungut untuk kemudian disetorkan kepada negara.

Kenaikan tarif ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemasukan agar dapat membiayai pembangunan dan mengurangi ketergantungan pada utang. Selain itu, penyesuaian ditujukan agar Indonesia sejalan dengan standar internasional, karena PPN negeri ini masih lebih rendah dibandingkan negara lain. Namun, dampaknya terhadap daya beli masyarakat tidak boleh diabaikan begitu saja. Karena risiko penurunan konsumsi rumah tangga bisa menjadi ancaman besar, mengingat keberadaannya menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi dan menyumbang lebih dari 50 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Pada dasarnya, kenaikan tarif PPN yang dimaksudkan untuk penerimaan negara, tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan terhadap perekonomian masyarakat. Apalagi dikaitkan dengan pembiayaan pembangunan, sangat tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Karena rakyat justru tidak menikmatinya dan hanya memakmurkan para korporat, dana pajak seringkali dikorupsi dan disalahgunakan.

Klaim bahwa penyesuaian tarif ini bisa mengurangi utang negara, juga merupakan salah besar. Karena konsep APBN memang menggunakan anggaran defisit yang membelanjakan lebih banyak uang dari pendapatan. Maka negara akan selalu berutang sekalipun ada peningkatan pemasukan dari PPN. Jadi kebijakan yang ditetapkan bukan ditujukan untuk kemaslahatan masyarakat, melainkan sebuah konsekuensi dari diterapkannya sistem ekonomi negeri ini yaitu kapitalisme.

Pajak dalam sistem ekonomi kapitalis merupakan sumber utama pemasukan negara. Setiap tahun target penerimaannya selalu ditingkatkan. Dan PPN terkategori salah satu yang paling besar sumbangannya terhadap APBN yaitu sekitar 17-29% dari total pendapatan. Itu sebab pemerintah lebih cenderung menaikkan tarif jenis pajak ini karena lebih mudah ditarik sebab tercatat dalam semua transaksi ekonomi yang berkaitan dengan konsumsi. Peluang masyarakat untuk mangkir pun kecil, sehingga bisa terkumpul dengan mudah.

Inilah dampak diterapkannya aturan kapitalisme, penguasa hanya diposisikan sebagai regulator dan fasilitator. Tugasnya dianggap selesai dengan memungut pajak dan mendistribusikannya dalam anggaran belanja negara. Tanpa mau peduli beban berat yang harus ditanggung rakyat. Selain itu, distribusi juga tidak ditujukan untuk kemaslahatan masyarakat, tapi digunakan untuk pembangunan proyek-proyek yang hanya menguntungkan para pemilik modal. Para pengusaha yang diuntungkan itu justru mendapat perlakuan istimewa berupa sunset policy dan tax amnesty (pengampunan pajak) dengan alasan untuk menarik investasi asing.

Sangat jauh berbeda dengan Islam yang memandang rakyat sebagai tanggung jawab penguasa/negara. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam HR. Bukhari:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.”

Seorang penguasa bertanggung jawab atas urusan rakyat yang dipimpinnya. Baik dalam pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan) juga kesejahteraannya. Adapun pembiayaannya berasal dari baitulmal, yang pemasukannya berasal dari: fai dan kharaj (ganimah, status tanah, jizyah, dharibah), kepemilikan umum (migas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan dan sumber air, hutan dan padang rumput serta berbagai aset yang dikuasai negara), juga zakat (uang, perdagangan, pertanian dan ternak).

Gambaran pengayoman negara terhadap rakyatnya nampak pada masa kepemimpinan Islam. Di mana pembangunan berhasil terwujud merata, baik infrastruktur, masjid, sekolah, jalan umum dan lain sebagainya. Begitu pula dengan anggaran di baitulmal yang senantiasa cukup bahkan surplus. Kesejahteraan terwujud nyata hingga kesulitan mendapati mustahik zakat, sebagaimana yang terjadi pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Di dalam Islam memang dikenal istilah pajak, bahkan terkategori salah satu pos pemasukan di baitulmal. Namun pemungutannya baru akan dilaksanakan saat kas negara tengah kosong, sementara ada kebutuhan yang harus dipenuhi secara mendesak. Maka pada saat itu akan dipungut dari lelaki muslim yang kaya saja, bukan dari wanita, anak-anak, non muslim dan fakir miskin. Itupun tidak berlangsung terus-menerus, karena setelah hajat terpenuhi, akan segera dihentikan.

Demikianlah, keteraturan dan kesejahteraan hanya akan bisa terlaksana saat Islam dijadikan sebagai peraturan hidup. Melalui tegaknya syariat Allah dalam naungan sebuah kepemimpinan, semua itu akan terwujud secara sempurna. Tidakkah kita merindukannya?

Wallahu alam Bissawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *