Workshop Muslimah “Menyiapkan Anak Tangguh Session 1

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Surabaya, SuaraInqilabi- Ahad 21 juni 2020, geliat para Ibu tangguh menyeruak dari berbagai pulau di Indonesia. Enam puluh lebih peserta berbondong-bondong menghadiri workshop bertajuk “Menyiapkan Anak Tangguh Session 1”. Meski diadakan secara daring melalui zoom cloud meeting, peserta begitu antusias mengikuti workshop ini. Tujuh jam lamanya dengan sabar menyimak pemaparan materi demi mereguk lautan ilmu.

Ustadzah Yanti Tanjung. Sosok pemateri yang begitu fenomenal, menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum hawa. Bliau merupakan founder Home Schooling Mandiri Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Aqidah Islam (HSM PAUD BAI) dan Sekolah Anak Tangguh (SAT).

Kali ini beliau tak sendirian. Bliau membawa serta team manajemen HSM, antara lain Ustadzah ePhy (Ummu TrioAZ), Ustadzah Netty (Ummu Azka), dan Ustadzah Ummu Syaddad. Yang kesemuanya adalah para pakar praktisi home schooling sekaligus tonggak keberhasilan terselenggaranya HSM PAUD BAI dan SAT.

Pembukaan begitu khidmat yang kemudian dilanjutkan pemaparan materi pertama yang berjudul “Visi dan Goal Pendidikan Generasi” oleh Ustadzah Yanti Tanjung. Benang merah antara pendidikan sekular dan pendidikan Islam begitu jelas beliau gambarkan.

Pendidikan sekular (sistem kapitalisme) berhasil mengubah orientasi pendidikan hari ini. Tujuan pendidikan harus diarahkan untuk kepentingan ekonomi. Karenanya keberhasilan pendidikan hanya diukur dari berapa banyak lulusan yang diterima di dunia kerja.

Wajar jika pendidikan sekuler justru mencetak generasi yang jauh dari norma agama. Mereka menjadikan untung rugi sebagai pertimbangan dalam penentuan kebijakan. Hingga lahirlah para perampok aset Negara yang mengakibatkan pemiskinan secara sistemik.

Tak ayal jika pendidikan justru disusupi agenda penjajah (para perampok aset Negara). Proyek deradikalisasi yang kerap menghantui dunia pendidikan juga merupakan misi untuk memuluskan agenda liberalisasi proyek ekonomi mereka.

Tentu sangat jauh berbeda dengan pendidikan Islam (sistem Khilafah Islam). Islam memandang bahwa pendidikan harus ditujukan untuk mendapatkan ilmu dan membentuk kepribadian Islam. Karena generasi yang memiliki kepribadian Islam akan menjadikan halal haram sebagai tolok ukur perbuatan. Sehingga akan lahir para ilmuan, ulama, negarawan yang mengabdikan ilmu nya untuk Islam dan kaum muslimin.

Demikian halnya dalam catatan sejarah Khilafah Islam, Negara memfasilitasi seluruh kebutuhan pendidikan bagi rakyatnya secara gratis dan berkualitas. Hingga lahirlah para negarawan, ulama dan ilmuan yang mampu menginspirasi dunia hingga hari ini.

Bahkan perempuan juga mendapatkan hak untuk berkiprah dalam dunia pendidikan tanpa mengganggu kewajiban mereka sebagai ummun wa robbatul bait. Sebagaimana Ibn hajar Al-Asqalani yang menerima ijazah 53 guru perempuan, Nafisa binti Hasan yang merupakan salah satu guru Imam Syafi’i, Aisha binti Sa’ad bin Abi waqqas yang merupakan salah satu guru Imam Malik, 170 ahli kaligrafi perempuan di Cordoba, dan masih banyak lagi.

Setelah tanya jawab usai, dilanjutkan pemaparan materi kedua yang berjudul “Hakekat Berfikir Anak” oleh Ustadzah ePhy (Ummu TrioAZ) dan pemaparan materi ketiga yang berjudul “Melejitkan Potensi dan Mengendalikan Emosi Anak” oleh Ustadzah Netty (Ummu Azka).

Benang merah bagaimana kapitalisme barat dan Islam dalam memandang hakekat berfikir tergambar jelas dari pemaparan Ustadzah ePhy. Kapitalisme barat menjadikan metode ilmiah sebagai asas berfikir dalam memahami seluruh ilmu pengetahuan. Baik ilmu pengetahuan yang bersifat non eksperimental maupun eksperimental.

Adapun Islam memandang bahwa metode ilmiah hanya bisa diterapkan pada ilmu pengetahuan yang bersifat eksperimental saja. Seperti kimia, fisika, dan ilmu eksak lainnya.

Karena sesungguhnya, berfikir adalah proses memindahkan fakta ke otak melalui panca indra disertai ma’lumah sabiqah yang akan digunakan untuk menafsirkan fakta-fakta tersebut. Dari definisi ini, maka berfikir wajib memuat 4 unsur (fakta, indera, otak dan informasi sebelumnya). Sehingga realitas akal (hasil dari proses berfikir) inilah yang akan melahirkan sebuah kesadaran rasional.

Lalu bagaimana agar proses berfikir anak mampu menghasilkan kesadaran rasional? Bagaimana agar Ibu mampu menggali dan melejitkan potensi anak? Sesungguhnya goal nya telah disampaikan oleh Ustadzah ePhy pada materi sebelumnya. Namun semakin disempurnakan lagi oleh pemaparan Ustadzah Netty bahwa seorang Ibu tangguh harus mampu memahami potensi anak. Yang mana potensi itu adalah anugrah dari sang maha pencipta (Allah SWT).

Potensi kehidupan berfungsi mendorong manusia untuk berprilaku memenuhi kebutuhan, berupa perasaan dan pengindraan yang senantiasa menuntut pemuasan. Baik dorongan yang menuntut secara pasti (kebutuhan jasmani) maupun yang tidak menuntut secara pasti (naluri mempertahankan diri, naluri berkasih sayang, dan naluri beragama).

Lebih lanjut Ustadzah Netty menjelaskan salah satu manivestasi yang nampak dari naluri mempertahankan diri adalah adanya rasa ingin tau, senang meneliti, dan lain sebagainya. Potensi anak yang telah digali inilah yang kemudian dilejitkan oleh Ibu tangguh melalui proses berfikir anak.

Bahkan, bliau menekankan bahwa output dari pendidikan Islam bukanlah generasi yang sekedar menghafal, namun juga generasi pemikir. Meski demikian, hafalan menjadi tonggak utama dalam memperkuat informasi sebelumnya (Tsaqofah Islam). Sehingga goal bisa terwujud, yakni mampu menghukumi realitas atau fakta dengan menggunakan informasi sebelumnya dengan benar (Tsaqofah Islam).

Setelah tanya jawab usai, dilanjutkan pemaparan materi keempat yang berjudul “Memahami Tumbuh Kembang Anak” oleh Ustadzah Ummu Syaddad. Tujuan pendidikan yang harus disesuaikan dengan tahapan usia anak atau tumbuh kembang anak begitu rinci disampaikan oleh beliau.

Sehingga dalam merancang konsep, metode, uslub, dan sarana harus disesuaikan dengan tahapan usia anak atau tumbuh kembang anak. Tentu hal ini sangat penting untuk diperhatikan. Jangan sampai nantinya Ibu salah dalam penerapan. Sebagaimana kesalahan berikut ini, ketika anak usia 10 tahun harus diperlakukan serius malah bahasa pemakluman yang banyak digunakan. Sedangkan anak usia dini yang seharusnya dengan bahasa stimulasi untuk mencelupkan aqidah, namun digunakan bahasa pemaksaan menjalankan ketaatan.

Setelah tanya jawab usai, Ustadzah Yanti menegaskan bahwa workshop bertajuk “Menyiapkan Anak Tangguh Session 1” kali ini membahas tentang bagaimana berfikir tentang konsep pendidikan Islam (visi, tujuan, basic). Adapun tentang bagaimana berfikir tentang metode pembelajaran (Talaqqian fikriyyan) dan berfikir tentang uslub atau teknis pembelajaran akan dibahas pada session berikutnya.

Semoga dengan adanya workshop ini semakin banyak Ibu tangguh yang memahami bahwa dalam pandangan Islam, Negara memang wajib menfasilitasi pendidikan rakyat secara gratis dan berkualitas. Baik saat kondisi normal maupun saat wabah. Namun kenyataan yang kita alami justru sebaliknya. Sehingga tak ada pilihan lagi, seorang Ibu tangguh harus pasang badan. Siap menjadi pembelajar sekaligus menjadi guru bagi anak-anaknya. [] Mimin Nur IndahSari

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *