Refresif Kepada Peserta Aksi Demonstrasi, Inikah Wajah Asli Demokrasi?
Noneng Sumarni, S.Pt
(Praktisi Pendidikan)
Brutal, itulah yang disampaikan Usman Hamid Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia menanggapi perilaku aparat dalam sejumlah aksi di berbagai kota Kamis, 22 Agustus 2024. Tindakan brutal aparat ini bukanlah kali pertama, tapi selalu berulang hampir setiap terjadi unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa ataupun masyarakat. Bukankah demokrasi menjamin kebebasan berkumpul dan berpendapat. Inikah wajah asli demokrasi?
Andi Andriana, seorang mahasiswa Universitas Bale Bandung (Unibba) terancam mengalami kebutaan. Mata kiri korban mengalami luka cukup serius karena terkena lemparan batu saat bentrok dengan polisi (Kompas, 24/08/24). Mengutip dari Amnesty, di Bandung juga polisi tertangkap kamera melakukan pengejaran dan memukul para demonstran dengan tongkat dan menginjaknya.
Di Jakarta, banyak orang yang ditangkap. Hingga sore setidaknya sudah belasan orang yang ditangkap. Jumlah mereka terus bertambah. Mereka yang ditangkap termasuk staf Lembaga Bantuan Hukum Jakarta serta Direktur Lokataru. Mereka pun menjadi korban luka. Selain itu, sembilan orang lainnya juga menjadi korban kekerasan polisi, termasuk mahasiswa dari Universitas Paramadina dan UHAMKA. Tujuh jurnalis dari berbagai media (termasuk di antaranya Tempo, dan IDN Times) juga mengalami tindakan represif polisi.
Di Semarang, setidaknya 15 mahasiswa dari berbagai kampus (Undip, Unnes, UIN Walisongo) dirawat di RS Roemani akibat tembakan gas air mata ke arah pengunjuk rasa oleh polisi. Mereka mengalami gejala seperti sesak nafas, mual, mata perih, dan beberapa bahkan pingsan. Sebelumnya pada tahun 2020, Amnesty International memverifikasi 51 video yang menggambarkan 43 insiden kekerasan polisi selama aksi unjuk rasa menentang UU Cipta Kerja (Amnesty.id, 22/08/24).
Ketua YLBHI, Muhamammad Isnur mengungkapkan ada puluhan tindakan represif, intimidasi, sampai kekerasan terhadap massa aksi kawal putusan MK. Bahkan, terdapat ratusan massa aksi justru ditangkap ketika sedang menuju lokasi aksi. Tindakan represif ini merupakan pelanggaran hukum, tindak pidana, dan melanggar peraturan internal Kapolri. Isnur menyebutkan, dalam peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, kepolisian tidak boleh terpancing, tidak arogan, dan tidak melakukan kekerasan saat situasi kerumunan massa aksi tidak terkendali (Tempo.co, 25/08/24).
Sikap refresif aparat bertentangan dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Mengatur kewajiban dan tanggung jawab polisi untuk melindungi HAM dan juga menghargai prinsip praduga tidak bersalah.
Dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (Protap Dalmas) juga telah diatur secara jelas bahwa polisi dilarang bersikap arogan, terpancing perilaku massa, melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai prosedur, mengucapkan kata-kata kotor, melakukan pelecehan seksual, membawa senjata tajam dan peluru tajam, keluar dari formasi dan mengejar massa secara perseorangan, bahkan memaki-maki pengunjuk rasa.
Berdasarkan aturan diatas, nyata-nyata aparat telah melanggar aturan. Ini menunjukkan bahwa demokrasi memiliki standar ganda. Aturan hanya berlaku untuk rakyat jelata, tidak untuk para penguasa. Begitupun dengan menyampaikan pendapat, bukankah demokrasi memberikan kebebasan untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat? Seharusnya mahasiswa yang melakukan aksi demontrasi diberikan apresiasi dan diakomodir. Karena aktivitas mereka menunjukkan kepeduliannya pada negeri ini. Mereka tidak membiarkan terjadinya pelanggaran sehingga mereka melakukan muhasabah. Negara seharusnya menerima utusan, membuka ruang diskusi dan tidak mengabaikannya.
Dalam buku Ilusi Demokrasi karangan Zaim Saidi mengungkapkan bahwa demokrasi adalah mesin politik kekuatan uang demi penegakan negara-budak (slave state). Sistem demokrasi menjadikan negara-bangsa tidak relevan dan pemerintah nasional kehilangan otoritas memerintah. Kebijakan pemerintah demokrasi tak lebih dari menjalankan keputusan dan kepentingan kekuatan oligarki bankir internasional (kelas kapitalis).
Kini wajah asli demokrasi sudah nampak. Dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat hanyalah jargon yang dijadikan sebagai topeng dalam sistem ini. Faktanya rakyat yang kritis tidak didengar, justeru diabaikan, ditentang dan dibungkam. Seolah-olah kritik itu sesuatu yang harus dilawan, dihabisi, dan sebagainya. Itulah kenyataan sistem demokrasi di negeri ini.
Dalam sistem Islam, mengoreksi penguasa adalah aktivitas yang diwajibkan baik yang dilakukan oleh individu, kelompok maupun masyarakat. Bahkan digolongkan sebagai aktivitas amar ma’ruf nahyi munkar paling besar dan dinilai sebagai jihad yang paling utama. Sebagaimana sabda Rasulullah:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Jihad yang paling utama adalah menyatakan keadilan di hadapan penguasa zalim (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan ad-Dailami).
Dalam hadis lain, Rasulullah saw. menyebutkan orang yang beramar makruf nahi mungkar di hadapan pemimpin zalim akan mendapatkan kedudukan sebagai pimpinan para syuhada di akhirat. Beliau bersabda:
سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إلَى إمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ، فَقَتَلَهُ
Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muththalib dan seorang laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa zalim, lalu ia memerintah (dengan kemakrufan) dan melarang (dari kemungkaran) penguasa tersebut, kemudian penguasa itu membunuh dirinya (HR al-Hakim dan ath-Thabarani).
Muhasabah lil hukam (mengoreksi penguasa) adalah salah satu mekanisme untuk menjaga agar pemerintahan tetap berjalan sesuai dengan aturan Allah. Diperkuat dengan adanya lembaga majelis umat dan qadhi madzalim. Majelis umat memiliki wewenang untuk memberikan pendapat (usulan) kepada khalifah dalam setiap urusan dalam negeri, mengoreksi khalifah dan para penguasa tentang berbagai hal yang dianggap oleh mereka sebagai sebuah kekeliruan dan memberikan pandangan dalam undang-undang yang akan ditetapkan dan membatasi kandidat khalifah.
Sementara qadhi madzalim adalah Qadli yang diangkat untuk menyelesaikan setiap tindak kedzaliman yang terjadi dari negara yang menimpa setiap orang yang hidup di bawah kekuasaan negara, baik rakyatnya sendiri maupun bukan, baik kedzaliman itu dilakukan oleh Khalifah maupun pejabat-pejabat lain, termasuk yang dilakukan oleh para pegawai.
Penguasa sangat memahami pentingnya muhasabah. Bahwa muhasabah dilakukan untuk menjaga tetap tegaknya aturan Allah di muka bumi ini. Sehingga penguasa dalam Islam selalu legowo menerima kritikan dari masyarakat. Sebagaimana Umar Bin Khattab yang dikritik oleh seorang wanita terkait dengan mahar. Umar mengatakan “Umar salah, wanita itu benar. Khalifah tidak malu mengakui kesalahannya. Karena mereka sadar betul bahwa kepemimpinannya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Dan standar kebenaran yang dipakai di dalam Islam sama yaitu hukum syara, tiada yang lain dan tidak bisa diubah-ubah.
Walhasil, sistem demokrasi sekular yang memiliki standar ganda dan tidak memihak rakyat tidak perlu dipertahankan. Saatnya kembali pada sistem terbaik yang datang dari sang pencipta alam semesta yang memahami aturan terbaik untuk manusia.
Wallahu’alam bish-shawwab.