Kota Malang- SuaraInqilabi- Pada hari Ahad 8 Maret 2020, puluhan tokoh muslimah Malang raya mengadakan diskusi hangat. Peserta diskusi terdiri dari tokoh masyarakat, mubalighah, penggerak PKK dan intelektual muslimah yang berasal dari berbagai daerah di Malang raya. Tema yang diangkat berkenaan dengan problematika krisis air di Malang.
Diskusi dibuka dengan doa dan pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Sesi pertama diskusi dibuka dengan penayangan video berkenaan dengan krisis air bersih yang dialami penduduk malang raya. Kemudian moderator memberikan kesempatan kepada forum untuk menyampaikan fakta tentang ketersediaan air di daerahnya masing-masing.
Beberapa peserta menyampaikan bagaimana kondisi di tempat mereka tinggal mengalami krisis air misal di daerah Buring, Kedungkandang, Tajinan, Lawang, Donomulyo, Kalipare, Sumbermanjing wetan, dll. Hal ini menjadikan rakyat kesulitan untuk menjalankan aktifitas kesehariannya, tersebab sebagaimama kita ketahui air merupakan kebutuhan pokok yang harusnya bisa diakses dengan mudah. Namun, pada faktanya mereka justru sangat sulit mendapatkan air bersih untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Padahal Malang raya memiliki 684 lebih titik sumber mata air. Mata air di kota Batu saja mencapai 100 namun saat ini 50% diantaranya telah mati karna mengalami alih fungsi ataupun bencana alam yang menimpa. Sebenarnya dengan melimpahnya sumber mata air, seharusnya masyarakat tidak perlu risau akan kekurangan air. Namun sejak januari 2020 banyak warga yang mengeluhkan krisis air. Hal ini disebabkan akibat pipa PDAM yang kapasitasnya hanya 10 bar dipaksa untuk menyediakan 13 bar yang mengakibatkan pipa pecah sebanyak 5 kali. Warga dan PDAM pun sama-sama merugi.
Pemerintah mengatakan sudah melakukan beberapa hal antaranya dropping air bersih, rekayasa jaringan, merevitalisasi sumur, hingga terminal air. Namun hingga akhir Februari ini masih banyak warga yang kesulitan air. Bahkan mereka harus mengungsi dan membeli air untuk kebutuhan rumah tangga. Dalam waktu dua pekan saja Perumda Tugu Tirta telah mengalami kerugian sebanyak 280 juta untuk operasional tangki.
Di sesi selanjutnya, dibahas faktor penyebab krisis air dan solusi yang yang dilakukan oleh pemerintah. Jika kita ketahui malang raya memiliki sumber air yang memadai maka sejatinya krisis air bukan dikarenakan tidak tersedianya air. Namun krisis air terjadi karena tata kelola yang salah dari pihak pemerintah. Pipa yang harusnya diremajakan tidak dilakukan dengan alasan biaya yang besar dan anggaran belum ada.
Kurangnya dana tadi justru menjadi alasan untuk mendatangkan investor yang bisa memasok dana dalam memperbaiki saluran air. Ada dua investor yang berminat, yaitu Taiwan Water Corporation dari Taiwan dan PT Elang Perkasa dari dalam negeri. Padahal, memasukkan investor di dalam pengelolaan kebutuhan publik sejatinya adalah bentuk swastanisasi pelayanan publik. Tentunya akan berdampak kepada masyarakat yang harus bersiap mengeluarkan uang lebih untuk memenuhi kebutuhan air. Komersialisasi air akhirnya seolah menjadi pil pahit yang harus ditelan oleh rakyat.
Lagi-lagi, pemerintah telah abai terhadap rakyatnya. Namun, apalah daya hal ini memang wajah negara yang menerapkan kapitalisme-sekuler. Indonesia yang menerapkan sistem kapitalisme-sekuler menempatkan pemerintah hanya sebagai pengarah bukan pelayan. Sebagaimana kesehatan telah diserahkan kepada BPJS dan pendidikan kampus diarahkan berstatus PTNBH adalah bentuk lepas tangannya pemerintah terhadap pelayanan publik. Begitu juga pemenuhan kebutuhan air yang diserahkan kepada korporasi merupakan bentuk dibukanya kran komersialisasi air. Sejatinya komersialisasi seluruh layanan publik tersebut adalah buah pemerintah yang menerapkan sistem neoliberal. Juga menjadi salah satu arahan internasional kepada negara yang terikat dengan agenda liberalisasi perdagangan dan perjanjian GATT.
Maka, sampai kapanpun jika negara ini masih menerapkan sistem neo-liberal buah kapitalisme-sekuler maka rakyat akan terus mengalami penderitaan demi penderitaan. Sangat berbeda dengan sistem islam yang menempatkan pemerintah sebagai pengurus atau pelayan urusan umat. Pemerintah wajib menjamin kebutuhan pokok rakyat individu per individu, termasuk tersedianya air sebagai kebutuhan pokok masyarakat.
Di dalam Islam, kepemilikan umum termasuk fasilitas umum seperti air tidak boleh dikuasai oleh swasta terlebih asing. Sebagai mana hadist, “Kaum muslimin berserikat dalam 3 hal, yakni air, api , padang gembalaan (HR Abu Dawud, Annasai). Maka negara wajib mengelola kepemilikan umum tersebut untuk dikembalikan kepada rakyat secara keseluruhan.
Maka, dalam Islam negara berkewajiban mendirikan industri air bersih perpipaan sedemikian rupa sehingga kebutuhan air bersih setiap individu masyarakat terpenuhi kapanpun dan dimanapun berada. Status kepemilikannya adalah harta milik umum dan atau milik negara. Dikelola pemerintah untuk kemashlahatan Islam dan kaum muslimin. Pengelolaan ini hanya bisa diwujudkan jika sistem politik-ekonomi yang dijalankan adalah Islam di bawah naungan khilafah.
Di masa kejayaannya, khilafah mampu mewujudkannya kesejahteraan rakyatnya. Dalam 1300 tahun telah sukses mewujudkan pengelolaan air dan kelestarian lingkungan hidup. Kota-kota Islam abad pertengahan sudah memiliki sistem manajemen dan pasokan air yang sangat maju untuk mengalirkan air ke semua tujuan. Di Samarra, air dibawa oleh hewan dan saluran pengumpan, yang mengalir sepanjang tahun. Jalan raya yang luas dan panjang hingga luar kota, dengan saluran pengumpan yang membawa air minum mengapit kedua sisi jalan.
Keahlian teknik serupa disponsori oleh Zubaida, istri Khalifah Harun al-Rashid untuk memasok Mekah dengan air. Baghdad, dengan populasi lebih dari 800.000 (abad ke 10) dilayani oleh sistem kanal yang memberikan akses kota ke laut. Pada tahun 993, terhitung ada 1500 pemandian umum. Demikianlah sejarah mencatat kegemilangan Islam untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Di sesi akhir, para tokoh bersepakat bahwa krisis air hanya akan terselesaikan jika umat mencampakkan sistem kapitalisme dan mengambil Islam kaffah dalam bentuk negara sebagai solusi tuntas. Kemudian, diingatkan kembali bahwa tokoh sebagai simpul umat juga wajib terus menyampaikan Islam sebagai satu-satunya solusi problematika kepada komunitasnya di masyarakat. Dengan demikian, bola salju kebangkitan umat akan semakin cepat diwujudkan. Wallahu A’lam bi Showab.
Reportase oleh Rina Fauziah dan Ifa Mufida