Dilema APBN: Mengurai Beban, Menjemput Keberkahan dalam Sistem Islam
Oleh: Novi Ummu Mafa
Penerimaan negara hingga Rp 3.005 triliun, ditargetkan akan diperoleh oleh Presiden Prabowo Subianto di tahun 2025, sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 62 tahun 2024 tentang APBN 2025. (detik.com, 23-10-2024).
Dalam konteks politik dan ekonomi yang terus berkembang, target APBN 2025 yang diinisiasi oleh Presiden Prabowo Subianto mencerminkan ambisi besar negara dalam meningkatkan penerimaan hingga lebih dari 3.000 triliun rupiah. Namun, dengan beragam tantangan ekonomi yang meliputi ketidakpastian pasar, potensi kebocoran anggaran, dan tekanan ekonomi masyarakat.
Analisis Target APBN 2025: Antara Harapan dan Realitas
Target penerimaan negara lebih dari 3.000 triliun dalam APBN 2025 sebagaimana tertuang dalam UU No. 62 Tahun 2024 mencerminkan harapan besar pemerintah untuk menggenjot pendapatan negara dari berbagai sektor, termasuk pajak, penerimaan negara bukan pajak, dan hibah. Adapun, rincian penerimaan APBN 2025 menitikberatkan pada pajak sebagai porsi utama, dengan estimasi sebesar 2.490 triliun dari pajak penghasilan, PPN, pajak bumi dan bangunan, serta pajak lainnya.
Namun, jika menengok sejarah APBN Indonesia, realisasi penerimaan negara kerap kali berada di bawah target yang ditetapkan. Penurunan daya beli masyarakat, angka pengangguran yang meningkat, serta maraknya pemutusan hubungan kerja menjadi penghalang utama yang merintangi upaya pemerintah mencapai target tersebut. Di samping itu, faktor korupsi dan kebocoran anggaran turut menggerus efektivitas pembiayaan negara. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pengelolaan fiskal yang mengandalkan pajak sebagai sumber utama sangat rentan terhadap dinamika ekonomi, terutama dalam kondisi krisis.
Sistem Kapitalisme: Ketergantungan pada Pajak dan Utang
Sistem fiskal kapitalisme yang mengandalkan pajak sebagai sumber utama penerimaan negara dapat dipandang sebagai bentuk eksploitasi ekonomi masyarakat. Pungutan pajak yang terus meningkat justru membebani masyarakat, yang sebagian besar sudah terhimpit dengan kondisi ekonomi yang semakin menantang. Selain itu, dalam kondisi di mana target pajak tidak tercapai, pemerintah cenderung beralih ke utang, yang pada akhirnya menambah beban jangka panjang negara.
Pendekatan ini mencerminkan ketergantungan pada model ekonomi kapitalis yang sarat dengan eksploitasi, di mana negara berusaha mencapai stabilitas ekonomi melalui pemajakan dan utang, meski dampaknya dapat memperparah kesenjangan sosial dan ketidakadilan ekonomi.
Solusi Sistem Islam: Baitul Mal sebagai Alternatif Berkelanjutan
Dalam Islam, sistem pengelolaan keuangan negara telah diatur melalui mekanisme Baitul Mal, yang berbeda fundamental dari model kapitalis. Berikut adalah beberapa prinsip utama yang diusulkan oleh Baitul Mal dalam rangkaian pendapatan dan belanja negara:
a. Sumber Penerimaan Negara Tanpa Target Tertentu
Tidak seperti APBN yang menetapkan target penerimaan yang tinggi, Baitul Mal tidak berorientasi pada target angka tertentu, tetapi berdasarkan mekanisme distribusi dan pengelolaan harta yang disyariatkan. Sumber penerimaan dalam Baitul Mal dibagi menjadi tiga pos utama:
Pendapatan Kepemilikan Umum: Sumber daya alam seperti hasil tambang, minyak, gas, dan hutan merupakan kepemilikan umum yang dikelola negara demi kepentingan masyarakat. Dalam Islam, pengelolaan sumber daya ini dilakukan dengan prinsip keadilan tanpa privatisasi, yang diharapkan mampu meningkatkan pendapatan negara secara substansial.
Pendapatan Kepemilikan Negara: Sumber lain seperti aset-aset milik negara, tanah, dan hasil dari kebijakan luar negeri juga berperan sebagai pendapatan negara yang sepenuhnya dikelola demi kesejahteraan masyarakat.
Zakat Mal: Zakat diwajibkan bagi muslim sebagai wujud kepatuhan terhadap Allah. Tidak adanya target dalam zakat ini, serta keikutsertaan masyarakat dalam proses pengumpulan, menciptakan mekanisme yang efektif dan berdaya guna dalam pendistribusian pendapatan.
b. Pengelolaan Anggaran yang Transparan dan Efektif
Baitul Mal mengalokasikan pengeluarannya secara spesifik sesuai dengan prinsip syariah. Misalnya, dana dari kepemilikan umum difokuskan untuk pembangunan dan kesejahteraan publik, sementara zakat didistribusikan kepada delapan golongan asnaf yang ditetapkan dalam Al-Quran. Sistem ini menutup celah untuk korupsi atau penyalahgunaan dana karena setiap pos anggaran telah ditetapkan secara jelas dan tegas.
c. Keberkahan Ekonomi yang Bersumber dari Ketaatan
Sistem Baitul Mal tidak hanya berorientasi pada keuntungan finansial, tetapi juga berlandaskan pada keberkahan yang bersumber dari ketaatan kepada Allah. Pengelolaan ekonomi yang berlandaskan keimanan diyakini membawa kebaikan bagi masyarakat secara keseluruhan, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Hashr ayat 7: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”
Sistem Ekonomi Islam: Solusi Realistis nan Ideal
Kebijakan fiskal yang berlandaskan syariah menantang paradigma kapitalis yang mendominasi perekonomian global saat ini. Meski implementasi model ini tampak jauh dari kenyataan dalam sistem pemerintahan modern, faktanya sistem Islam telah terbukti efektif diterapkan pada era Rasulullah SAW dan para Khalifah sesudahnya. Pemisahan antara kepemilikan umum, kepemilikan negara, dan zakat memberikan landasan yang kokoh untuk menciptakan pemerataan ekonomi.
Perlunya Peralihan Menuju Sistem Ekonomi Islam
Target ambisius dalam APBN 2025 menyoroti ketergantungan yang tinggi pada penerimaan pajak, yang rentan tidak tercapai akibat fluktuasi ekonomi. Dalam konteks ini, model Baitul Mal menawarkan alternatif yang lebih kokoh dan berkelanjutan, bebas dari eksploitasi pajak yang memberatkan rakyat serta terbukti mampu mengelola ekonomi dengan prinsip keadilan. Sebagai langkah maju, Indonesia perlu mempertimbangkan peralihan dari paradigma kapitalis menuju sistem ekonomi Islam demi terciptanya kesejahteraan yang berkeadilan dan penuh keberkahan.
Wallahu a’lam bish-shawwab