International Court of Justice (ICJ) Desak Suu Kyi Akui Genosida Terhadap Muslim Rohingya

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

DEN HAAG — Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi menghadiri sidang perdana gugatan genosida terhadap warga Rohingya yang digelar Pengadilan Internasional atau International Court of Justice (ICJ). Suu Kyi yang hadir dengan mengenakan pakaian tradisional Myanmar mewakili delegasi Myanmar.

“Sungguh suatu kesedihan bagi generasi kita bahwa 75 tahun setelah manusia bertekad ‘tidak akan pernah ada lagi’, justru ada genosida yang terjadi di depan mata kita,” kata Menteri Kehakiman Gambia Aboubacarr Tambadou kepada sidang. “Namun, kita tidak berbuat apa pun.”

“Ini menjadi noda bagi nurani kita bersama. Kita akan bertindak tak bertanggung jawab jika tidak berbuat sesuatu dan berpura-pura bahwa ini bukan urusan kita,” kata Tambadou.

Komisioner di International Commission of Jurists Reed Brody mengungkapkan, belum pernah terjadi sebelumnya pemimpin politik tertinggi seperti Suu Kyi mengambil peran utama dalam sebuah kasus hukum di ICJ. “Secara hukum, itu bisa menjadi kontraproduktif bagi Suu Kyi untuk mengambil peran seperti itu karena sepertinya dia memolitisasi kasus ini,” ujarnya, dikutip laman Aljazirah.

“ICJ memancarkan tradisi dan protokol diplomatik dan saya ragu para hakim akan terkesan dengan kelompok tur yang tiba dari Myanmar untuk mendukung pemerintah,” ujar Brody.

Suu Kyi duduk di barisan terdepan, sementara para pengacara penggugat menyajikan data mengenai warga Rohingya yang dibunuh dan penghancuran ribuan rumah mereka di Negara Bagian Rakhine. Suu Kyi sama sekali tak berbicara kepada awak media saat memasuki pengadilan.

Seorang hakim Afrika Selatan berpengalaman, Navanethem Pillay, dan mantan komisioner tinggi PBB untuk hak asasi manusia, Claus Kress, telah ditunjuk sebagai hakim ad hoc dalam kasus ini.

Gambia mengajukan gugatan atas nama Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Gugatan diajukan kepada ICJ, badan pengadilan di bawah PBB yang mengadili persengketaan antarnegara.

Gambia menilai Myanmar telah melanggar Konvensi Genosida PBB. Myanmar dan Gambia merupakan negara yang terikat konvensi tersebut.

Militer Myanmar mulai melakukan operasi militer terhadap warga Rohingya pada Agustus 2017 untuk menumpas pemberontakan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Namun, operasi militer itu diyakini sebagai manifestasi dari pembersihan etnis yang meliputi pemerkosaan massal, pembunuhan, dan pembakaran rumah. Lebih dari 700 ribu warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh untuk menyelamatkan diri.

Misi pencari fakta PBB untuk Myanmar bahkan menyebutkan pada Oktober bahwa ada ancaman serius terjadinya genosida. Misi ini juga menyatakan, Myanmar harus mempertanggungjawabkan tindakannya di persidangan internasional atas dugaan genosida terhadap warga Rohingya.

Myanmar menolak semua tuduhan terhadap mereka. Mereka menyatakan siap bertindak terhadap pelaku jika memang ada bukti memadai.

Desak Suu Kyi

Secara terpisah, tujuh tokoh peraih Nobel Perdamaian menyerukan Suu Kyi mempertanggungjawabkan kejahatan yang dilakukan terhadap etnis Rohingya. Tujuh tokoh penerima Nobel Perdamaian yang menyerukan hal tersebut adalah Shirin Ebadi, Leymah Gbowee, Tawakkol Karman, Mairead Maguire, Rigoberta Menchu, Jody Williams, dan Kailash Satyarthi.

“Kami menyerukan Aung San Suu Kyi, seorang penerima hadiah Nobel Perdamaian, untuk secara terbuka mengakui kejahatan, termasuk genosida, yang dilakukan terhadap Rohingya,” kata mereka dalam pernyataan yang dirilis di situs web Nobel Women’s Initiative, dikutip Anadolu Agency, Selasa (10/12).

Mereka mengaku sangat mencemaskan apa yang terjadi dan dialami Rohingya. “Kami sangat prihatin bahwa alih-alih mengutuk kejahatan ini, Aung San Suu Kyi secara aktif menyangkal bahwa kekejaman ini bahkan terjadi,” ujar mereka.

Mereka pun mengapresiasi langkah yang diambil Gambia untuk membawa kasus dugaan genosida terhadap Rohingya ke ICJ. “Kami memuji Gambia karena mengambil langkah ini untuk membuat Myanmar bertanggung jawab atas genosida terhadap Rohingya serta untuk memajukan keadilan bagi para korban kejahatan ini,” katanya.

Tujuh tokoh peraih Nobel Perdamaian itu mendesak Suu Kyi menangani dan mengatasi tindakan diskriminasi sistematis terhadap etnis Rohingya. Mereja juga meminta Suu Kyi memastikan setiap orang Rohingya diberi hak untuk memperoleh kewarganegaraan, kepemilikan tanah, kebebasan bergerak, dan hak-hak dasar lainnya. [Rol]

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *